Tak Menyerah Meski di Usia Senja


Hilir mudik pengunjung Kebun Binatang Medan di siang itu sebenarnya terasa begitu sesak, hempasan debu yang  berasal dari derap langkah kaki ditambah semilir angin menerpa sesosok wajah renta di depan kandang rusa. Suara paraunya mendominasi, menawarkan seikat mata pencaharain yang menjadi andalannya untuk menyambung kehidupan. Senyuman juga selalu ia arahkan kepada para pengunjung yang datang melintas. Ia juga tak segan menyapa dan bercengkrama dengan para pengunjung walau dari raut wajahnya rentanya ia sangat tampak  merasa lelah.

“Daun ubi, daun ubi, seikat- seikat untuk kenang kenangan ayo dibeli-dibeli,” Begitu suara paraunya mencoba menawarkan.

Pengunjung yang berlalu lalang tampaknya tak semua mendengar tawaran dari suara paraunya. Tetap saja kebanyakan pengunjung  berhilir mudik tak menghiraukan. Namun sosok itu terus saja bersemangat dengan cara dan usahanya. Lama sebenarnya kuperhatikan sosok itu, ia mengikat, memotong dan merapikan dagangnnya. Sejenak ia duduk, namun beberapa saat kemudian ia berdiri sembari kembali menawarkan kepada pengunjung kebun binatang.

Tak butuh waktu lama memang, Dari beberapa usahanya itu akhirnya ada juga pengunjung yang tertarik untuk membeli daun ubi miliknya. Daun ubi itu dipergunakan pengunjung untuk menarik perhatian sekumpulan rusa yang pasti mendekat jika diberi umpan. Kebanyakan pengunjung tentu ingin berfoto bersama sekumpulan rusa-rusa itu.

Akhirnya aku juga memutuskan untuk mendekat dan mencoba berada di sampingnya. Entah mengapa aku ingin mendengar kisah dan pengalaman sosok renta itu hari ini. Aku ingin belajar semangat darinya. Sosok mulia karena masih giat dan tekun bekerja, tak seperti kebanyakan orang kota yang masih sehat jasmaninya namun rela menengadah, meminta dan berharap belas kasih semua orang.

“Berapa harga daun ubi ini nek ?” Tanyaku mencoba memulai pembicaraan.
“Seribu per ikat nak”, Jawabnya dengan senyum khasnya.

Berawal dari pertanyaan itu akhirnya aku berusaha untuk mengakrabkan diri. Mencoba mencari tahu hal – hal yang berkaitan tentang dirinya, semangatnya dan pekerjaannya. Aku terus duduk disampingya sembari memperhatikan setiap aktifitasnya.

Damai, begitu Ia menjawab siapa namanya ketika kutanya. “Sedamai hatiku dan perbuatanku, “ tambahnya. Wah boleh juga nenek ini gumamku. Tampaknya kami sudah mulai akrab,  sehingga akupun tidak canggung untuk terus bertanya kepadanya.

Dalam kesehariannya Nek Damai membuka lapak dagangannya sejak pagi hari mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 sore. Ia mencari sendiri setumpuk daun ubi yang ia dapatkan dibawah lembah, tak jauh dari kandang rusa. Perjuangan ini tentunya sangat melelahkan melebihi anak muda dan orang normal pada umumnya yang biasanya bekerja hanya selama 8 jam.

Nek Damai mengaku tak mempunyai hari libur dalam bekerja, setiap hari Ia harus membuka lapak dagangannya. Bahkan Ia mengaku sangat merasa bosan jika Ia tak bekerja. Ia hanya beristirahat untuk mengumpulkan kembali tenaganya pada waktu malam hari sambil meminum kopi .

Nek Damai sebenarnya mempunyai 6 orang anak dan beberapa cucu, namun kebanyakan dari mereka sudah menetap tinggal di Yogya dan Jakarta. Ia mengaku tak ingin merepotkan anaknya, selain itu ia juga tidak suka jika tidak mempunyai aktifitas. Karena hal inilah ia bertahan dan tetap bekerja sebagai penjual daun ubi di Kebun Binatang Medan.

Untuk mengatasi kerinduan kepada anak-anak dan cucunya ia menyimpan beberapa foto yang diberikan anaknya. Ia sengaja menyimpan dan akan melihat kumpulan foto itu jika setiap waktu kerinduan itu sangat terasa dilubuk hatinya.Ia mengaku merasa bahagia dengan jalan yang dipilihnya ini.

Hampir tiga tahun lebih Nek Damai menjual daun ubi di kebun binatang ini. Banyak suka dan duka yang menurutnya selama ini didapatkan. Jika musim liburan panjang tentu ia akan mendapatakan pemasukan yang berlebih, namun jika hari biasa ia mengaku hanya bisa sekedar untuk membeli rokok dann kopi, hobi yang dapat menghilangkan kesedihan serta kerinduan terhadap anak anaknya. Di hari ini ia mengaku sudah menghabiskan 150 ikat daun ubi dengan harga seribu rupiah per ikatnya. Keuntungan yang cukup sepadan tentunya dengan perjuangan yang harus ia lakukan dalam kesehariannya. Sering juga Nek damai mendapatkan uang yang nominalnya cukup besar. Hal ini dikarenakan banyak pengunjung yang memberikan sedekah kepadanya. Hanya membeli seikat daun ubi, tetapi memberi uang berlebih. Terkadang ada yang memberi lima ribu, sepuluh ribu, bahkan ada yang memberi sampai lima puluh ribu rupiah.

Sebenarnya ia tidak mau mengharap belas kasihan orang, ia juga selalu mengembalikan uang kembalian yang diberikan oleh para pengunjung kepadanya. Namun kebanyakan pengunjung memang tulus memberikan sedekahnya kepada Nek Damai. Atas kebaikan setiap pengunjung tersebut, Nek Damai selalu mendoakan setiap pengunjung. Hal ini jugalah yang menyebabkan ia selalu bersikap ramah dan bersahabat kepada seluruh pengunjung. Hanya hal itulah yang bisa ia ungkapkan dan lakukan, jelas Nek Damai.

Nek Damai juga mempunyai rumah tak jauh dari lokasi kebun binatang, namun dikarenakan usianya sudah renta yang mengakibatkan ia tak begitu kuat untuk berlalu lalang ke rumah dan ke kebun binatang. Selain itu ia juga merasa kesepian karena hanya tinggal sendirian didalam rumahnya, Karena hal inilah, akhirnya ia memutuskan untuk tetap tinggal di dalam gubug jualan milik pedagang, tempatnya persis didepan kandang rusa ditempat ia biasa berjualan.

Usia Nek Damai yang sudah tidak muda ini sebenarnya juga sudah sangat renta, terlihat dari kondisi fisik yang Nek Damai alami, ia sebenarnya juga rentan terkena penyakit. Saat ini saja ia mengalami kebungkukan dan beberapa penyakit senja yang sudah mulai menggerogoti tubuh rentanya. Walau begitu semangat dan ketekunan Nek Damai sebenarnya sangat patut untuk diapresiasi, tak mudah menyerah meski di usia senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak kamu di sini ya..!
Silahkan isi dan komentari dengan sopan
Salam Blogger.

Pages