A. PENGERTIAN
Dalam bahasa
Arab, memakai cincin padanannya adalah kata (at-Takhattum) yang
merupakan masdar dari takhattama. Model kata seperti itu masuk dalam kategori
majaz, karena cincin bukan pakain. Sedangkan cincin yang bahasa Arabnya adalah al-khatam
berarti perhiasan untuk jari tangan.[1]
B. HUKUM
MEMAKAI CINCIN
Memakai
cincin berbeda hukumnya satu sama lain, tergantung bahan dari cincin yang
dipakai. Untuk itu, perlu kita singgung satu persatu bahan cincin yang biasa
dipakai orang sebagai berikut :
1.Cincin
emas
Ulama fikih
dari lintas mazhab sepakat atas bolehnya memakai cincin emas bagi perempuan,
haram bagi laki-laki. Hukum ini berdasarkan hadist shahih yang diriwayatkan
dari banyak sahabat sebagai berikut :
“emas dan
sutera dihalalkan bagi para perempuan dari umatku, diharamkan bagi para
lelakinya” (H.R An Nasai, at-Tirmidzi,dll)[2]
Hukum haram
diatas diberlakukan untuk laki-laki dewasa. Adapun untuk anak laki-laki yang
belum baligh, terdapat perbedaan ulama fikih mengenai hukumnya. Ulama dari
Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat makruh, hambali berpendapat haram. Tetapi
hukum haram dan makruh tersebut berlaku untuk orang yang memakaikannya dijari
anak laki-laki tersebut, baik orang tua maupun walinya. Landasan mereka dalam
hal ini adalah hadis Jabir Ra yang mengatakan sebagai berikut :
“Dulu
kami melepaskan (perhiasan emas) dari anak-anak lai-laki, tetapi pada anak
perempuan tetap kami biarkan” ( H.R Abu Daud dengan isnadnya yang shahih)[3]
Sedangkan
ulama dari mazhab Syafiie, hanya mereka yang berpendapat boleh anak laki-laki
yang belum baligh memakai atau dipakaikan cincin emas, sama hukumnya seperti
perempuan, walaupun bukan pada hari raya.[4]
2.Cincin
Perak
Bagi
perempuan, sepakat ulama fikih dari berbagai mazhab atas bolehnya mereka
memakai cincin perak. Adapun bagi laki-laki perlu rincian penjelasan lebih
lanjut.
Ulama dari
mazhab Hanafi berpendapat boleh laki-laki memakai cincin perak, bahkan bagi
orang yang perlu memakainya seperti sultan dan hakim, hukumnya sunah. Tetapi
bagi selain sultan dan hakim, lebih utama tidak memakainya. Maliki juga
berpendapat boleh, bahkan sunah dengan syarat diniatkan mengikuti nabi Muhammad
SAW tetapi tidak boleh memakinya karena ujub.[5]
Ulama dari
Mazhab Syafii juga berpendapat boleh memakai cincin perak bagi laki-laki,
bahkan sunah, baik laki-laki tersebut seorang sultan/pemimpin atau bukan.
Hambali pun berpendapat boleh, tetapi tidak ada keutamaan memakai cincin perak
bagi laki-laki.[6] Dalil yang
menjadi landasan ulama dari berbagai mazhab diatas adalah sebagai berikut :
“Bahwa
Nabi Muhammad Saw membuat cincin dari perak dan memakainya ditangannya.
Kemudian (setelah nabi wafat) cincin tersebut ada ditangan Abu Bakar Ra,
kemudian ditangan Umar Ra, kemudian ditangan Usman ra, sampai cincin tersebut
jatuh ke dalam sumur Aris[7].
Cincin tersebut berukir tulisan Muhammad Rasul Allah” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
dll)
3.Cincin
Selain emas dan Perak
Hukum
memakai cincin selain emas dan perak, seperti cincin besi, tembaga, timah, dll
juga menjadi ranah perbedaan pendapat ulama. Jumhur ulama, diantaranya sebagian
besar Malikiyah, sebagian Syafiiyah dan Hanabilah, berpendapat makruh bagi
laki-laki dan perempuan. Bahkan Hanafiyah berpendapat haram[8].
Landsannya adalah hadis sebagai berikut:
“Seorang
laki-laki yang sedang memakai cincin tembaga kuning mendatangi Rasulullah saw,
lalu Rasul berkata kepadanya : Aku mencium bau berhala [9]darimu.
Lalu laki-laki itu pun melemparnya. Kemudian, laki-laki itu datang lagi dengan
memakai cincin besi, lalu rasul berkata kepadanya: mengpa kulihat ada perhiasan
penghuni neraka padamu? Lalu laki-laki itu pun melemparnya. Selanjutnya dia
berkata : wahai Rasulullah, apa yang boleh kubuat menjadi cincin? Rasulpun
menjawab : Buatlah dari perak, tapi jangan sampai satu mitsqal.” ( HR. Abu
Daud, At Tirmidzi, an Nasai)
Sedangkan,
sebagian Syafiiyah lain dan sebagian kecil Maliki berpendapat boleh memaki cincin
emas dan perak. Mereka beralasan – diantaranya dengan hadis shahih riwayat al
Bukhari dan Muslim dimana Rasulullah meyuruh seorang laki-laki yang mau menikah
untuk mencari seusatu yang dijadikan mahar, walaupun hanya sebuah cincin besi.[10]
4.Cincin Batu Berharga Mahal
Cincin yang dibuat dari atau bermatakan batu berharga mahal
seperti intan, berlian, permata hijau dan merah, fairuz dan akik yang berharga
selangit, dll boleh memakinya bagi perempuan. Adapun bagi laki-laki, berbefa
pendapat ulama fikih mengenai hukum memakainya. Mayorits ulama, diantaranya
Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat boleh dan tidak makruh sama sekali.
Alasannya karena tidak ada nash yang melarang, maka tetap boleh. Sementara itu,
Syafiiyah berpendapat makruh hukumnya. Mereka beralasan karena cincin yang
seperti itu merupakan hiasan khusus perempuan dan berlebihan, ditambah lagi
dapat menimbulkan sifat sombong dalam diri orang yang memakainya.[11]
C. TANGAN
YANG DIPAKAIKAN CINCIN
Tidak ada
perbedaan perndapat dikalangan uama fikih bahwa boleh bagi perempuan memakai
cincin ditangan mana saja, baik kanan maupun kiri, bahkan dikaki, kanan ataupun
kiri. Alasannya, karena memakai cincin adalah berhias, dan berhias dalah hak
mereka.Maka mereka boleh berhias dan memakainya dimana saja.
Adapun bagi
laki-laki, ulama fikih berbeda pendapat. Jumhur ulama anatra lain Hanafi,
Maliki, Hambali, berpendapat bahwa memakai cincin ditagnan kiri adalah lebih
utama bahkan sunah, karena rasulullah memakai cincin ditangan kirinya
berdasarkan hadis shahih. Ditambah lagi hal ini lebih dapat menjauhkan diri dari sifat ujub dan sombong.[12]
Sedangkan Syafiiyah memandang boleh saja memakai cincin ditangan kanan ataupun
kiri, karena keduanya shahih dilakukan Rasulullah, tetapi yang masyhur tangan
kanan lebih utama dari tangan kiri. Sebab memakai cincin adalah berhias meka
menghias tangan kanan lebih utama, karena tangan kanan lebih mulia.[13]
D. JARI
YANG DIPAKAIKAN CINCIN
Ulama empat
mazhab , Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali sepakat bahwa jari yang utama
dipakaikan cincin adalah jari kelingking, bahkan sunah seperti maliki. Tetapi
boleh juga jari manis, tidak maruh sama sekali. Adapun selain kedua jari
tersebut, hukumnya makruh. Jari jempol contohnya, memang tidak ada adatnya
dipakaikan cincin[14].
Sedangkan jari telunjuk dan jari tengah, dilarang dipakaikan cincin. Hal ini
berdasarkan hadist dari Ali R.a sebagai berikut :
“Dari Ali Ra dia berkata : Rasulullah melarangku memakai cincin dijari ini dan ini, sembari menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya.”(HR. Muslim)
“Dari Ali Ra dia berkata : Rasulullah melarangku memakai cincin dijari ini dan ini, sembari menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya.”(HR. Muslim)
E. UKURAN
BERAT CINCIN
Ulama fikih
memberi batas ukuran berat cincin yang boleh dipakai laki-laki. Tetapi pendapat
para ulama tersebut tidak sama dalam hal ini. Ulama dari mazhab Hanafi
membatasi cincin yang boleh dipakai laki-laki tidak lebih dari satu mitsqol,
yaitu sekitar 4,5 gram, sebagaimana terdapat dalam hadis yang lalu ketika rasul
menjawab pertanyaan seseorang
“ Buatlah
dari perak, tapi jangan sampai satu mitsqol ( H.R Abu Daud , at Tirmidzi, an
Nasai)[15]
Sama seperti ulama madzhab Hanafi, ulama mazhab Maliki juga memberi batasan berat cincin yang boleh dipakai laki-laki. Hanya saja, Maliki berpendapat batas berat yang boleh adalah 2 dirham. Yaitu sekitar 6 gram kurang sedikit, jika lebih dari dua dirham maka hukumnya haram.[16]
Sedangkan
Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat sebaliknya, tidak ada batasan berat cincin
yang dipakai oleh laki-laki, asalkan tidak melebihi adat kebiasaan yang berlaku
di negerinya. Jika lebih dari adat yang biasa dipakai orang maka hukumnya
haram, karena terdapat israf (berlebih-lebihan). Juga karena asalnya adalah haram, maka yang boleh hanya yang biasa dipakai seperti yang dipakai oleh
rasul dan sahabat. Adapun hadis yang membatasi satu mitsqal, kemungkinan
karena itulah adat yang biasa dipakai orang dinegeri tersebut.[17]
F. JUMLAH
CINCIN
Terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama fikih mengenai jumlah cincin yang boleh dipakai.
Tetapi jumhur ulama fikih, seperti madzhab Maliki dan Syafii berpendapat tidak
boleh dipakai lebih dari satu di sepuluh jari tangan secara bersamaan. Jika
lebih, maka hukumnya haram menurut Malikiyah dan sebagian Syafiiyah seperti
Ibnu hajar al Haitami tetapi hanya makruh menurut sebagian lain. Seperti ar
Ramli.[18]
Berbeda dengan
dua mazhab sebelumnya, ulama dari mazhab Hambali berpendapat boleh saja bagi
seorang laki-laki memakai dua cincin atau lebih secara bersamaan. Asalkan tidak
keluar dari adat dan kebiasaan negeri tempatya berdomisili. Sedangan ulama
Hanafiyah, tidak menyinggung masalah ini dalam beberapa kitab fikih mereka.[19]
G. MATA
DAN POSISI CINCIN
Secara umum,
ulama fikih lintas mazhab berpendapat boleh saja cincin bagi laki-laki memiliki
mata ataupun tidak. Mata cincin tersebut pun boleh dari bahan cincin ataupun dari
bahan lain. Hanya saja, mereka berbeda pendapat sedikit mengenai posisi mata
cincin tersebut, ditelapak tangan bagian dalam atau bagian luar.
Menurut
Hanafiyah, bagi laki-laki boleh mata cincinnya dari batu akik atau batu fairuz
atau batu lain. Dan mata cincin tersebut diposisikan di telapak tangan bagian
dalam, beda halnya dengan perempuan. Karena, memakai cincin bagi perempuan
untuk berhias, sedang bagi laki-laki tidak demikian.[20]
Malikiyah agak
berbeda sedikit. Menurut mereka boleh saja mata cincin itu dari perak atau
baham lain. Asalkan bukan besi, tembaga atau timah. Bahkan di interal mereka
ada yang berpandangan mata cincin mseti dari perak, karena cincin Rasul seerti
itu, sebagimana diterangkan dalam hadis Shahih riwayat Muslim. Sedangkan mata
cincin tersebut diposisikan ditelapak tangan bagian dalam. Sebab sunah
nabawiyah adalah seperti itu, dan tentu mengikuti nabi adalah hal yang terbaik.[21]
Syafiiyah
dalam hal ini sama seperti Hanabilah. Menurut mereka boleh saja cincin memilki
mata atau tidak. Dan matanya boleh dari bahan cincin tersebut atau bahan lain.
Karena, ada riwayat dari al Bukhari bahwa mata cincin rasul dari perak, sama
sepreti bahan dari cincinnya. Namun ada juga riwayat dari Muslim yang
menyebutkan bahwa mata cincin berasal dari batu akik Habsyah. Kemudian, mereka
berbeda pendapat mengenai posisi mata cincin. Syafiiyah berpendapat bahwa yang
paling utama mata cincin diposisikan ditelapak tangan bagian dalam. Sedangkan
Hanabilah, berpendapat sebaliknya, ditelapak tangan luar lah yang afdhal. Karena,
demikian diperbuat Rasul begitu pula Ibnu Abbas
dan sahabat-sahabat lain.[22]
H. UKIRAN
CINCIN
Ulama fikih,
dari berbagai mazhab sepakat atas bolehnya membuat ukiran atau tulisan pada
cincin. Seperti mengukir nama pemiliknya atau kata-kata bijak. Adapun membuat
ukiran atau tulisan lafaz Allah atau zikir, maka berbeda pandangan ulama. Hanafiyah
dan Syafiiyah membolehkan, tetapi mesti dikantongi cincin tersebut setiap kali
masuk toilet dan memakainya ditangan kanan setiap kali dia beristinjak. Mereka
beralasan, bahwa cincin Rasul pun berukiran tulisan Muhammad Rasul Allah.[23]
Sementara
Hanabilah, berpendapat makruh mengukir cincin dengan tulisan yang ada lafaz
Allah. Baik dari ayat Al Quran, hadis maupun kata-kata hikmah. Bahkan
Hanabilah, berpendapat haram apabila cincin diukir dengan gambar hewan[24].
Atau dibuat mata cincin berbentuk hewan.
I. MENGGERAKKAN
CINCIN KETIKA WUDHU
Jumhur ulama
fikih berpendapat wajib menggerak-gerakkan cincin ketika membasuh tangan pada
saat berwudhu, jika cincin yang dipakai sempit dijari dan tidak dapat
dipastikan air wudhu sampai ke kulit jari dibawah cincin tersebut. Tetapi jika
cincinnya longgar atau sudah diketahui bahwa air wudhu sampai ke kulit jari
dibalik cincin, maka tidak wajib menggerak-gerakkannya, melainkan sunah saja. Tetapi,
Malikiyah berpendapat kalau cincin yang dipakai adalah cincin yang
diperbolehkan oleh syara’ maka tidak wajib menggerak-gerakkannya sekalipun
sempit.[25]
J. MENGGERAKKAN
CINCIN KETIKA MANDI
Jumhur ulama
berkata bahwa yang membuat mandi menjadi sah yaitu membasahi seluruh tubuh
dengan air, dari ujung rambut sampai ujung kaki, termasuk kulit yang dibawah
cincin. Maka wajib hukumnya menggerak-gerakkan cincin yang dipakai ketika mandi
guna memastikan sampainya air ke kulit yang ada dibawah cincin. Bahkan, jika
cincin tersebut cincin tersebut sempit sehingga tidak sampai air ke kulit yang
ada dibawah cincin. Maka wajib melepas cincin tersebut dari jari tangan. Namun, Malikiyah berpendapat tidak wajib menggerak-gerakkan cincin ketika mandi, walaupun
cincin tersebut sempit dijari. Karena yang wajib ketika mandi hanyalah
membasahi badan bagian luar saja.[26]
K. MELEPAS
CINCIN KETIKA TAYAMUM
Jumhur ulama
fikih, seperti malikiyah dan Hanabilah, berpendapat wajib bagi orang yang
bertayamum melepaskan cincin dari jarinya supaya tanah sampai ke kulit bawah
cincin ketika mengusap. Tidak memadai dengan menggerak-gerakkan cincin saja.
Karena, tanah itu tebal, tidak dapat merersap ke kulit bawah cincin.
Berbeda dengan air yang cair dan dapat mengalir sampai ke kulit bawah cincin
pada saat berwudhu. Sementara Hanafiyah berpendapat tidak mesti melepaskan
cincin, melainkan boleh juga dengan sekedar menggerak-gerakkan saja.[27]
L. MEMAINKAN
CINCIN KETIKA SHALAT
Sepakat ulama
fikih dari berbagai mazhab bahwa al –‘abats makruh dalam shalat. Al
abats adalah melakukan perbuatan yang tidak ada kaitannya dan tidak ada
gunanya bagi orang yang sedang melaksanakan shalat. Termasuk dalam al Abatas
ini adalah memain-mainkan, menggosok-gosokkan, menggerak-gerakkan atau
memutar mutar cincin ketika shalat dilaksanan.[28]
Wallahu alam
Disampaikan oleh Ust. Nano Wahyudi dalam pengajian rutin
malam Minggu di Majelis Taklim al Ittihad Komplek Wartawan, 28 Februari 2015.
[1]Lihat
Ibnu Manzur, Lisan al Arab, al fairuz, al qamus, al Fayyumi, al Misbah al Munir
semua pada kata khatama.
[2]Sunan
an nasai, j.8.h.161
[3]Sunan
Abi Daud, j.4,h. 331
[4]Qalyubi
wa Umairah, j.2,h.24 Asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, j. 1.h.306
[5]Radd
al Mukhtar ‘ala Dur al Mukhtar (hasiyah Ibn Abidin),j.5,h.231. hasyiyah al ‘adawi,j.2,
h.358
[6]An
Nawawi, Al Majmu’,j.4,h.464. Al Buhuti, kays al Qina,j.2.h.236
[7]
Sebuah sumur di taman dekat masjid Quba Kota Madinah, tetapi sekarang sumur
tersebut sudah tidak ada lagi.
[8]Hasyiyah
al ‘adawi,j.2,h.357. Al Majmu’,j.4.h.464, kays al Qina, j.2,h. 237. Radd al
Mukhtar ‘ala Darr al Mukhtar, j.5, h.259
[9]Karena
tembaga kuning dijadikan bahan untuk membuat patung berhala.
[10]Al
Majmu’,j.4,h.462. Qalyubi wa Umairah,j.2,h.24.
[11]Ibnu
Hazm, al Muhala , j.1, h.86. Abdul wahhab Thawilah, al Albisah wa az
Zinah,h.345.
[12]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr Mukhtar,j.5,h.230. Hasyiyah al ‘adawi,j.2,h.360
[13]Al
Majmu,j.4,h.462. Qalyubi wa ‘Umairah,j.2,h.24
[14]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar ,j.5,h.230. Hasyiyah al ‘adawi,j.2,h.360. Al
Majmu,j.4, h.463. Qalyubi wa ‘Umairah j.2,h.24.
[15]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar,j.5,h.229
[16]Al
Abdari, Jawahir al Kill,j.1.h.10
[17]Mughani
al Muhtaj,j.1,h.392.kasysyaf al Qina,j.2,h.236.
[18]Jawahir
al Ikill, j.1.h.10. Mughani al Muhtaj,j.1,h.392.
[19]Kasysyaf
al Qina,j.2,h.238.
[20]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar,j.5.h.230.
[21]Hasyiyah
al ‘adwai,j.2.h. 358
[22]Al
Majmu’,j.4.h.463. Qalyubi wa Umairah,j.2.h.24. kasysyaf al Qina,j.2,h.236.
[23]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al
Mukhtar,j.5,h.230. 230. Hasyiyah al ‘adawi,j.2,h.360. Al Majmu,j.4.h.463
[24]
Ar-Ruhaibani, Mathalib Uli an Nuha,j.2,h.95
[25]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar, j.1,h.86. Jawahir al Iklil,j.1.h.14. Qalyubi
wa Umairah, j.1,h.49.
[26]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar,j.1.h.104. Al Khuraisyi,j.1.h. 166. Mughn al
Muhtaj,j.2,.h.73. kasysyaf al Qina,j.1,h.155.
[27]Radd
al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar ,j.1,h.101. Kasysyaf al Qina,j.1.h.187.
[28]
Radd al Mukhtar ‘ala Durr al Mukhtar, j.1.h.430. Jawahir al Iklil,j.1.h.55.
Mughni al Muhtaj,j.1.h. 199. Kasysyaf al Qina,j.1,h.272.