1.
Murabahah Dari Perspektif Fiqh dan Perkembangannya di Masa Lalu
hingga sekarang
Apabila dilakukan analisis semantik terhadap kata murabahah maka
akan diketemukan bahwa murabahah berakar dari kata ribhun (bahasa Arab) yang
bermakna untung. Berangkat dari hasil analisis semantik inilah, kemudian
dibangun beberapa pengertian murabahah secara utuh dan patuh seperti pengertian
yang dikonsepkan oleh Adiwarman Karim bahwa secara singkat murabahah adalah
akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang
disepakati oleh penjual dan pembeli.[1] Dalam
redaksi yang lain diungkapkan murabahah adalah jual beli barang pada harga asal
dengan tanbahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.[2]
Dalam redaksi yang lain pula disebutkan murabahah adalah istila fikih Islam
yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya
perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan
untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang di
inginkan.[3]
Dari beberapa pengertian di atas, tampaknya pengertian terakhirlah yang
memiliki karakteristik murabahah yang lengkap.
Al-Qur’an, bagaimanapun juga, tidak pernah secara langsung
membicarakan tentang murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual
beli, laba, rugi, dan perdagangan. Demikian pula dalam hadis, tampaknya tidak
ada hadis yang memiliki rujukan langsung kepada murabahah. Namun murabahah ini,
meski sedikit ada dalam pembahasan jual beli dalam kitab-kitab fiqh.
Para ulama generasi awal, seperti Imam Malik dan Syafi’i yang
secara khusus menyatakan bahwa jual beli murabahah adalah halal, tidak
memperkuat argumentasinya dengan satu hadist pun. Al-Kaff seorang kritikus
murbahah kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah”salah satu jenis jual
beli yang tidak dikenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya.” Menurutnya, para
tokoh ulama mulai menyatakan pendapat mereka tentang muarbahah pada seperempat
pertama abad kedua Hijriyah, atau bahkan lebih akhir lagi.[4]
Mengingat tidak adanya rujukan baik di dalam al-Qur’an maupun hadis
yang bisa diterima umum, para fuqaha berupaya menetapkan hukum murabahah dengan
dasar yang lain. Imam Malik membenarkan keabsahannya dengan merujuk kepada amal
ahli madinah: “Ada kesepakatan pendapat di sini (Madinah) tentang keabsahan
seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota
lain untuk menjualnya lagi sesuai keuntungan yang disepakakti.
Dalam Kitab Al Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi merubahah
seperti ini dengan istilah al amir bisysyira.[5]
Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan beli dapat memesan kepada seseorang (
sebut saja sebagai pembeli ) untuk membelikan sesuatu barang tertentu yang
diinginkannya. Kedua pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta
kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah
itu, kedua pihak juga harus menyepakati berapa keuntungan atau tambahan yang
harus dibayar pemesan. Jual beli antar kedua pihak dilakukan setelah barang
tersebut berada ditangan pemesan.
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali
tidak ada hubunganya dengan pembiayaan. Namun dalam sistem ekonomi saat ini,
terdapat kesulitan kesulitan dalam penerapan mudharabah dan musyarakah untuk
pembiayaan beberapa sektor. Oleh karenaitu beberapa ulama kontemporer telah
membolehkan penggunaan murabahah sebagai bentuk pembiayaan alternatif dengan
syarat syarat tertentu. Dua hal yang harus diperhatikan adalah :[6]
1.
Murabahah
digunakan hanya sebagai alat untuk menghindar dari “bunga” dan bukan instrumen
ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen ini hanya digunakan
sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses Islamisasi ekonomi dan
penggunaanya hanya terbatas pada kasus kasus ketika mudharabah dan musyarakah
tidak/ belum dapat diterapkan.
2.
Murabahah
muncul bukan hanya untuk menggantikan “bunga” dengan “ kenuntungan” melainkan
sebagai bentuk pembiayaan yang diperbolehkan oleh ulama Syariah dengan syarat
syarat tertentu. Apabila syarat syarat ini tidak dipenuhi, maka murabahah tidak
digunakan dan cacat menurut syariah.
Seiring perkembangannya, Murabahah
dalam perbankan syari’ah didefenisiskan sebagai jasa pembiayaan
dengan mengambil bentuk transaksi jual beli barang
antara bank dan nasabah dengan cara pembayaran angsuran. Dalam perjanjian
murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh
nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian
menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin
keuntungan. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah
dilakukan atas dasar cost plust profit[7]
pada umumnya Perbankan
Syariah telah menggunakan murabahah sebagai instumen pembiayaan (financing) yang
utama. Pada dataran aplikatifnya di Indonesia Islamic bank, potofolio
pembiayaan (financing) murabahah mencapai 70-80% dari keseluruhan pembiayaan.[8] Kondisi
ini tidak hanya terjadi di bumi Indonesia saja, akan tetapi mewarnai
pembiayaan-pembiayaan di Islamic bank dibeberapa Negara seperti Malaysia,
Pakistan dan lainnya.
Ada beberapa alasan rasional yang diajukan untuk menjelaskan
popularitas murabahah dalam operasional investasi Islamic bank, yaitu:[9]
1) Murabahah adalah investasi jangka
pendek dan mudah bila dibandingkan dengan musyarakah dan mudarabah.
2) Mark up yang menjadi ciri khas
murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat dipastikan Islamic
bank mendapat keuntungan yang sebanding dengan keuntungan yang diperoleh bank
kovensional.
3) Murabahah
menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan
sistem PLS.
4) Murabahah
tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, kerana
bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah
hubungan antara kreditur dan debitur.
2.
Perkembangan
Operasional Murabahah di Masa Kini
Awalnya
transaksi murabahah adalah transaksi jual beli sederhana yaitu dalam murabahah
dengan kerelaan penjual memberi tahu
kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan
yang dibebankannya pada nilai tersebut. Akan tetapi seiring dengan perkembangan
zaman, murabahah mengalami perkembangan.
Beberapa hal yang menunjukkan perkembangan tersebut antara lain :
1)
Awalnya
transaksi murabahah dilakukan tanpa melalui pihak ketiga atau pesanan.
Pada saat sekarang bentuk murabahah ini bisa melibatkan
tiga pihak, yaitu pemesan, pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga dapat
melibatkan pembeli sebagai perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan
pemesan akan pembiayaan. Dalam kasus ini , nasabah pertama membeli
komoditas/barang yang diperlukannya atas nama pemberi pembiayaan dan mengambil
alih penguasaan barang. Selanjutnya, nasabah membeli komoditas/ barang tersebut
dari pemberi pembiayaan dengan harga tangguh. Penguasaan atas komoditas/ barang
oleh nasabah pada keadaan pertama adalah dalam kapasitasnya sebagai agen dari
pemberi pembiayaan. Dalam kapasitas ini nasabah hanyalah sebagai trustee,
sedangkan kepmilikan dan resiko komoditas/ barang tersebut berada ditangan
pemberi pembiayaan . Akan tetapi, ketika nasabah membeli komoditas/ barang
tersebut dari pemberi pembiayaan, maka resiko dan kepemilikan beralih ke tangan
nasabah[10]
2) Murabahah dengan jaminan.
Pada dasarnya jaminan bukanlah satu
rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai al Murabahah. Jaminan
dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main main dengan pesanan.Si
pembeli ( penyedia pembiayaan/ kreditor ) dapat meminta si pemesan ( pemohon/
debitur ) suatu jaminan ( rahn ) untuk dipegangnya. Dalam teknis
operasionalnya, barang barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan
yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
3)
Murabahah
yang dilakukan dengan barang yang beluma ada.
Sebenarnya menjual barang yang tidak
dimilki adalah tindakan yang dilarang syariah karena termasuk bai al fudhul.
Para ulama syariah terdahulu telah memberikan alasan secara rinci mengenai
pelarangan tersebut. Namun, beberapa ulama syariah modern menunjukkan bahwa
konteks jual beli murabahah jenis ini dimana “ belum ada barang” berbeda dengan
“menjual tanpa kepemilikan barang”. Mereka berpendapat bahwa janji untuk
membeli barang tersebut mengikat pemesan[11]
4)
Murabahah
dengan kredit / hutang
Pembiayaan murabahah dengan
kredit/hutang yang berbasis murabahah harus dilunasi pada jangka waktu
tertentu tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berbasis bunga. Namun ada
perbedaan yang paling mendasar dari kedua pembiayaan tersebut dalam hal debitur
gagal melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan. Pinjaman dengan bunga,
pada umumnya menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada
saat jatuh tempo. Sedangkan, dalam perbankan syari’ah, nasabah harus diberi
waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu. Penundaan semacam ini harus
diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada nasabah atas waktu yang
diberikan untuk pembayaran. Namun bagi nasabah yang mampu melunasinya tetapi
mereka lalai untuk melunasi hutang tepat waktu, maka bank syariah menrapkan
konsep denda. Semua hal di atas menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian
hutang pun, bank syari’ah telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar
hutang dilunasi tepat waktu, dan jika tidak ‘kerugian’ yang diderita bank
ditanggung oleh nasabah. Berdasarkan uraian di atas, maka peran bank syari’ah
dalam Murabahah sebagai pembiaya (a finacier ) bukan
pembeli barang ( a seller ) Bank tidak memegang barang, dan tidak pula mengambil resiko
atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan penanganan dokumen-dokumen
terkait dan kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Di samping itu,
penentuan mark-up dalam kontrak murabahah yang secara bebas ditentukan oleh
bank syari’ah, akan dapat memicu munculnya persepsi bahwa mark-up itu identik dengan
bunga. Untuk itu, perlu kajian secara mendalam tentang konsep pricing
dalam murabahah.[12]
3.
Penerapan
Konsep Princing dalam Murabahah
Kontrak dalam pembiayaan murabahah
merupakan salah satu bentuk natural
certainty contract karena dalam murabahah
ditentukan berapa required rate of profitnya. Natural certainty contract merupakan
kontrak dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi
jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Cash flow nya –nya
bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah
pihak yang bertransaksi di awal akad. Kontrak ini menawarkan return yang
tetap dan pasti. Objek pertukarannya, biasanya berupa barang dan jasa, harus
ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (Quanitity )mutunya
(quality), harganya (price) dan waktu penyerahannya (time
of delivery). Produk perbankan syari’ah yang termasuk dalam kategori ini
adalah pembiayaan bai’ al-murabahah dan ijarah.[13]
Penentuan
harga pada sebuah kontrak yang menghasilkan keuntungan pasti (natural
centainty contract), pada kebanyakan perusahaan atau bank, biasanya menggunakan
salah satu dari metode: [14]
a.
Mark-up
Pricing
Metode mark-up pricing adalah
penentuan tingkat harga dengan me-mark- up
biaya produksi (product’s cost) komoditas yang bersangkutan. Pada metode ini,
sebuah perusahaan atau bank akan menjual produknya pada tingkat harga biaya
produksi ditambah mark-up atau margin yang diinginkan.
b.
Target-Return
Pricing
Target-Return pricing merupakan
penentuan harga jual produk yang bertujuan mendapatkan return atas besarnya
modal yang diinvestasikan, dalam bahasan keuangan dikenal dengan istilah Return
on Investment (ROI). Dalam hal ini, perusahaan atau bank akan menentukan berapa
return yang diharapkan atas modal yang diinvestasikan.
c.
Perceived-Value
Pricing
Berbeda dengan metode target-return
pricing yang hanya menggunakan biaya produksi sebagai kunci penentuan harga,
pada perceived-value pricing juga menggunakan non-price variable sebagai dasar
penentuan harga jual. Dalam metode perceived-value pricing, penentuan harga
dengan tidak menggunakan variable harga sebagai dasar harga jual. Harga jual
didasarkan pada harga produk pesaing dimana perusahaan atau bank melakukan
penambahan atau perbaikan unit untuk meningkatkan tingkat kepuasan customer.
Dengan demikian, perusahaan atau bank dapat menentukan harga dengan
mempertimbangkan tingkat kepuasan customer terhadap suatu komoditi yang
dikonsumsi.
d.
Value
Pricing
Adalah suatu kebijakan harga yang
kompetitif atas barang yang berkualitas tinggi. Hal ini sudah menjadi pemahaman
umum bahwa barang yang baik, harganya mahal. Namun perusahaan yang sukses
adalah perusahaan yang mampu menghasilkan barang yang berkualitas dengan biaya
yang efesien sehingga perusahaan tersebut
dapat dengan leluasa menentukan tingkat harga di bawah harga competitor.
Penentuan harga dalam pembiayaan
murabahah di bank syari’ah dapat menggunakan salah satu di antara empat model
di atas. Namun, penentuan harga jual produk-produk bank syari’ah harus tetap
memperhatikan ketentuanketentuan yang dibenarkan menurut syari’ah. Oleh karena
itu, bank syari’ah perlu menetapkan metode yang tepat dan efisien agar kemasan
produk murabahah dapat memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank
syariah dengan nasabah bank syariah.
Meskipun demikian alangkah lebih
bijak dan baik jika penetapan harga jual murabahah, sebaiknya dapat dilakukan
dengan cara Rasulullah
ketika berdagang. Cara ini dapat dipakai sebagai salah satu metode
bank syari’ah dalam menentukan harga jual produk murabahah. Cara
Rasulullah dalam
menentukan harga penjualan adalah menjelaskan harga belinya, berapa
biaya yang telah dikeluarkan untuk setiap komoditas dan berapa
keuntungan wajar yang
diinginkan.
Cara penetapan harga jual tersebut
bedasarkan costplus mark up[15].
Secara matematis menurut Muhamamd[16]
harga jual murabahah dengan metode cost plus mark up ditunjukkan seperti
rumus dibawah ini :
Harga Jual = Harga beli + cost recovery + keuntungan
Cost recovery =
Margin =
Cost recovery adalah bagian dari estimasi biaya operasi bank syari’ah yang
dibebankan kepada harga beli/total pembiayaan. Cost
recovery tersebut bisa didekati dengan
membagi estimasi biaya operasi dengan target volume pembiayaan murabahah,
kemudian ditambahkan dengan harga beli dari suppliyer dan keuntungan yang
diinginkan sehingga didapatkan harga jual. Sedangkan margin murabahah didapat
dari cost recovery ditambah keuntungan dibagi dengan harga beli.
Persentase margin di atas dapat
dibandingkan dengan suku bunga. Jadi, suku bunga hanya dijadikan sebagai
benchmark. Agar pembiayaan murabahah lebih kompetitif, margin murabahah tersebut
harus lebih kecil dari bunga pinjaman. Jika masih lebih besar, maka yang harus
dimainkan adalah dengan memperkecil cost recovery dan keuntungan yang
diharapkan.[17]
Dengan metode ini, diharapkan keuntungan bank syari’ah akan meningkat meskipun
dengan Profit margin yang lebih kecil jika dibandingkan dengan bunga pinjaman bank konvensional.
Hal lain yang perlu dicatat bahwa hasil perhitungan margin yang dicantumkan
dalam kontrak pembiayaan murabahah dinyatakan dalam angka nominal, bukan bentuk
persentasenya.
1.
Fatwa-Fatwa MUI Mengenai Murabahah
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang UANG MUKA DALAM
MURABAHAH menyatakan bahwa :
• Dalam
akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka dengan jumlah sesuai
kesepkatan. Jika nasabah membatalkan akad maka kerugian yang ditanggung LKS
diambil dari uang muka tersebut, apabila uang muka berlebih maka kelebihannya
harus dikembalikan kepada nasabah namun apabila kurang, LKS boleh meminta kekurangan
kepada nasabah.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang DISKON DALAM MURABAHAH menyatakan
bahwa :
• Jika
dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier maka harga
sebenarnya adalah harga setelah diskon
sehingga diskon adalah hak nasabah dan jika pemberian diskon terjadi setelah
akad maka pembagian diskon dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam
akad.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 23/DSN-MUI/IX/2000 Tentang POTONGAN PELUNASAN DALAM MURABAHAH menyatakan bahwa :
• LKS
boleh memberi potongan sebesar kebijakan LKS atas pembelian nasabah apabila
nasabah melunasi pembayaran tepat waktu/ lebih cepat dengan syarat tidak
diperjanjikan dalam akad
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 46/DSN-MUI/IX/2000 Tentang POTONGAN TAGIHAN
MURABAHAHmenyatakan bahwa :
• LKS
boleh memberi potongan sebesar kebijakan LKS atas pembelian nasabah apabila
nasabah mencicil pembayaran tepat waktu dan nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 47/DSN-MUI/IX/2000 Tentang RESCHEDULING HUTANG
MURABAHAH menyatakan bahwa :
• LKS
boleh mengatur kembali jadwal pembayaran hutang murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi hutangnya sesuai jumlah dan
waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
1. Tidak
menambah jumlah hutang yang tersisa;
2. Pembebanan
biaya dalam proses rescheduling adalah biaya riil;
3. Perpanjangan masa pembayaran harus
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 48/DSN-MUI/IX/2000 Tentang PENYELESAIAN
MURABAHAHmenyatakan bahwa :
• LKS
boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa melunasi
pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan nasabah
melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan dan apabila masih belum
cukup maka LKS dapat menjual jaminan nasabah yang ada pada LKS untuk pelunasan
hutang tersebut.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 48/DSN-MUI/IX/2000 Tentang
RECONDITIONING MURABAHAHmenyatakan bahwa :
• LKS
boleh melakukan reconditioning (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa
menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi masih memiliki prospektif setelah
akad sebelumnya dihentikan dengan menjual obyek murabahah kepada LKS dengan
harga pasar untuk melunasi hutang atau dengan LKS menyewakan obyek ex-murabahah
yang telah dibeli kepada nasabah ex-murabahah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.
27/DSNMUI/ III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
[1] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan
(Jakarta: Rajawali, 2008), hal. 113
[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi
dan Ilustrasi (Yogyakarta: Penerbit Ekonosia, 2008), hal. 69.
[3] Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syari’ah (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 83.
[4] Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah (Yogyakarta:
UPP AMP YKPN, 2005), hal. 119
[5] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan ( Jakarta :
Tazkia Institute, 1999 ) hal. 121
[7] Sutan Remy
Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1999 ) hal. 64
[8] Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank
Syari’ah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hal. 138
[9] Anita
Rahmawaty, Jurnal Ekonomi Islam, La Riba . Vol.1 No.2 tahun 2007. Hal.
192
[11] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan ( Jakarta : Tazkia Institute, 1999 ) hal.
122
[12] Anita
Rahmawaty, Jurnal Ekonomi Islam, La Riba . Vol.1 No.2 tahun 2007. Hal.
198
[13] Adiwarman
Karim, Bank Islam, analisis fiqih dan Keuangan ( Jakarta: IIIT, 2003.) hal 51.
[14] Muhamad, Manajemen
Pembiayaan Bank Syari’ah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hal. 132-134
[15] Slamet wiyono,
Akuntansi perbankan Syariah ( Jakarta : PT Grasindo, 2005 ) hal. 89
[16]
Muhamad, Manajemen
Pembiayaan Bank Syari’ah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kamu di sini ya..!
Silahkan isi dan komentari dengan sopan
Salam Blogger.