BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu politik adalah ilmu yang mengkaji hubungan- hubungan manusia dengan
negara dan manusia dengan manusia. Dalam Islam hal ini juga merupakan bidang
agama karena ia mencakup semua segi kehidupan. Islam tidak menyetujui
penyekatan antara agama dan politik. Islam ingin melaksanakan politik selaras
dengan tuntunan yang diberikan agama dan menggunakan negara sebagai pelayan
Tuhan. Islam menggunakan kekuatan politik untuk mereformasi masyarakat agar
tidak terjatuh ke dalam tempat yang paling buruk.[1]
Sejarah mencatat bahwa perjalanan Bangsa Indonesia tidak terlepas
dari peran umat Islam. Seperti Ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Umat
Islam Indonesia yang diwakili Para Ulama, kyai, santri dan rakyat dengan
gigihnya berusaha mempertahankan akidah dan melawan penindasan serta
ketidakadilan yang mereka terima dari para penjajah. Hal ini yang kemudian
memunculkan pemberontakan dan pergolakan di berbagai daerah di Indonesia
seperti Perang Jawa yang di pimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830)
perang Padri di Sumatera Barat yang di pimpin oleh Imam Bonjol (1821-1837) dan
perang Aceh yang di pimpin Oleh panglima Polim (1873-1904). Serta memunculkan
juga beberapa pergerakan dan Organisasi Masyarakat seperti Nahdatul Ulama dan
Muhammadiyah yang kemudian berkembang menjadi organisasi yang berpengaruh dan
memiliki massa pengikut yang banyak.
Dalam makalah ini penulis berusaha memaparkan perkembangan politik Islam
Indonesia dari masa ke masa yang di mulai dari masa penjahan Belanda ,masa
penjajahan Jepang , masa kemerdekaan, masa orde lama, masa orde
baru dan politik Islam masa reformasi.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana Masyarakat Indonesia berpegang teguh dengan Islam ketika masa
penjajahan?
Apa saja yang menjadi sasaran Islam itu sendiri ?
Bagaimanakah perkembangan politik Islam Indonesia dari masa ke masa yang di
mulai dari masa Penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa
Kemerdekaan, masa orde lama, masa Orde Baru, dan perkembangan
politik Islam masa reformasi?
3. Manfaat Yang Diproleh
(a)Mengetahui perjuangan rakyat Indonesia terkhusus Umat Islam dalam
menghadapi kesulitan, penindasan dan ketidakadilan serta menganalisis
bagaimana mereka berpegang teguh dengan Islam ketika masa penjajahan?
(b)Mengetahui apa saja sebenarnya yang menjadi sasaran Islam itu sendiri?
(c)Mengetahui perkembangan politik Islam Indonesia dari masa ke masa,
bagaimanakah perkembangan politik islam di masa Penjajahan Belanda, masa
penjajahan Jepang, masa Kemerdekaan, masa orde lama, masa Orde Baru, dan
perkembangan politik Islam di masa reformasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Politk Islam Masa Penjajahan
Masa penjajahan Belanda
Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1596 dengan tujuan berdagang dan
mencari rempah – rempah. Kemudian, pada tahun 1602 ketika orang Belanda yang
datang semakin banyak Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan perdagangan yang
diberi nama VOC. [2]
Pada
tahun1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan
perjanjian Giyanti yang menyebabkan raja kehilangan kekuasaan politiknya. Di
tambah lagi dengan ikut campurnya pemerintah kolonial terhadap kehidupan
keraton yang menyebabkan peran ulama sebagai penasihat keraton semakin
tersingkir. Eksploitasi dan perampasan tanah dan sistem tanam paksa yang
menyengsarakan rakyat terus di galakkan oleh pemerintah kolonial sehingga
semakin membuat rakyat semakin ketakutan dan mencari sosok pemimpin non formal
( ulama ) ketika peran para raja sudah dinggap tidak bisa mengayomi dan
melindungi mereka.[3]
Akhirnya para ulama mendidik dan merekrut para santri dan masyarakat untuk
dijadikan prajurit sukarela yang memiliki moral dan semangat berjihad untuk
membela agama, bangsa dan negara. Mereka melakukan perlawanan dan pergolakan ,
setidaknya ada empat kali peperangan besar yang melibatkan para Ulama dan
santri seperti perang Cirebon (1802-1806 ), perang Diponegoro ( 1825- 1830 ),
perang Padri ( 1821-1838 ) dan perang Aceh (1873-1908) yang merupakan perang
santri terlama sehingga Belanda menghadapi peperangan tersebut sampai akhir
kekuasaanya, dimana para ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya sampai
tahun 1942.[4]
Kemudian seiring perjalanan waktu para ulama menyadari bahwa perjuangan
mereka tidak akan berhasil kalau melanjutkan cara-cara tradisional. Oleh karena
itu perlu diadakan perubahan perubahan yang walaupun berasal dari
pengaruh kolonial sendiri, yaitu berjuang melalui organisasi-organisasi , baik
bidang sosial pendidikan ataupun di bidang pergerkan politik. [5]
Diantara organisasi pergerakan sosial yang berdiri untuk kepentingan ummat
adalah:[6]
-Pada tanngal 16 Oktober 1905 H.Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam
(SDI)
-Pada tahun 1905 berdiri Jamiatul Khairiyah
-Pada tahun 1911 SDI berubah menjadi SI
-Pada tanggal 18 November 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah,dasar gerakan ini adalah Alquran dan Sunnah ,anti taqlidisme, dan
bid’ah dalam agama.
-Syekh Ahmad Syurkati mendirikan gerakan Al Irsyad
-A.Hasan dan K.H. Zamzam mendirikan Persatuan Islam 17 september 1923 di
Bandung
-Pada tanggal 31 Januari 1926 K.H.Hasyim Asy’ari mendirikan NU yang
menitikberatkan pada kemurnian mazhab.
-Di Sumatera Barat berdiri PERTI pada tahun 1928
-Pada tanggal 30 November 1930 berdirilah Al Washliyah di Medan.
Organisasi Pergerakan Politik :
-Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam pada tahun 1923
-Permi ( persatuan Muslimin Indonesia ) didirikan sesudah Thawalib Sumatera
-Partai Arab Indonesia di bawah pimpinan AR. Baswedan didirikan untuk
memperjuangkan tanah air bangsa Indonesia.
-Pada tahun 1937 terbentuklah MIAI yang di pimpin oleh K.H Mas Mansur dan
K.H. Ahmad Dahlan.
b. Masa penjajahan
Jepang
Tahun 1938-1945 terjadi Perang Dunia II antara Jerman, Italy, dan Jepang
berhadapan dengan sekutu yang terdiri dari Inggris, Prancis,Rusia, ditambah
Amerika. Front Pasifik meletus tanggal 8 Desember 1941 ketika Amerika membuka
front baru menghadapi Jepang yang menjatuhkan bom di Pearl Harbour,sebuh
pangkalan militer Amerika. Hindia-Belanda (Nusantara) dibawah jajahan Belanda
melalui pidato Ratu Wilhelmina mengumumkan perang kepada Jepang. Dengan
demikian,tak heran kalau Hindia-Belanda menjadi salah sasaran Jepang. Satu
persatu wilayah Hindia-Belanda menyerah tanpa syarat.Pecahnya perang fasifik
(1942-1945) mengakibatkan Belanda menyerah pada bulan Maret 1942 tanpa
perlawanan berarti. Sampai tahun terakhir penjajahan Belanda,timbul kekecewaan
mendalam dikalangan Islam karna semua tuntutan mereka ditolak oleh pemerintah
kolonial. Belanda lebih banyak berunding dengan kelompok nasional sekular,yang
dianggap wakil tunggal Indonesia.
Pada awal kedatangan Jepang, timbul simpati dan harapan baru bangsa
Indonesia. Apalagi dalam siaran radio tokyo diumumkan bahwa tujuan perang
fasifik adalah mengusir orang-orang kulit putih dari bumi Asia. Sebelumnya,
Jepang banyak melakukan aktifitas internasional untuk menarik simpati
bangsa-bangsa yang beragama Islam dan meniupkan slogan anti Barat.
Kebijakan
pemerinah Jepang setelah mengambil alih kekuasaan Belanda adalah melarang semua
kegiatan organisasi-organisasi politik yang ada dan berupaya membangun
organisasi semi militer dengan menjalin kerjasama dengan golongan nasional
sekuler maupun golongan Islam.Sebagai penjajah, Jepang jauh lebih kejam
daripada Belanda ,Jepang merampas semua harta milik rakyat untuk kepentinga
perang ,sehingga rakyat mati kelaparan. Tujuan mereka adalah menggalang masa
untuk mendukung rezim pendudukan. Pada awalnya Jepang berminat membentuk sebuah
perhimpunan organisasi politik melalui “Gerakan Tiga A”,dibawah pimpinan
Syamsudddin, bekas pimpinan Parindra, diharapkan dengan pembentukan organisasi
ini, rakyat indonesia akan membantu mereka dala perang pasifik dan
menyukseska propaganda “kemakmuran Asia Timur Raya”. Karena gagal mendapat
dukungan rakyat ,”Gerakan Tiga A” dibubarkan[7],sementara itu, MIAI tetap dipertahankan dan
menjadi organisasi independen tanpa terikat pada organisasi lainnya.
Selanjutnya,
sebagai ganti “Gerakan Tiga A”, Jepang membentuk Putera (pusat tenaga rakyat)
dalam rangka menggalang massa, Ada hal yang menarik dari pembentukan Putera,
hasil yang terpenting adalah meningkatnya kesadaran rakyat Indonesia, terutama
keinginan mereka untuk mencapai kemerdekaan. Jepang menerapkan politik
mendekati golongan Islam tetapi tidak terhadap kelompok nasional sekular,Jepang
mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam untuk mendirikan
organisasi dan menagakui kembali organisasi-organisasi Islam yang belum
dibekukan,tetapi tidak membolehkannya bagi organisasi-organisasi nasional
sebelum perang,Pada awal pendudukannya, Jepang membentuk kantor Departemen Agama
yang disebut Shumubu yang dibentuk pada Maret 1942, ketua pertama seorang
Jepang bernama Horie (1942) dan pada tanggal 1 Oktober 1943 Hosein
Djajadiningrat diangkat menjadi kepala Shumuba,tanggal 1 Agustus 1944
digantikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tetapi tugasnya dilaksanakan oleh putranya
K.H Wahid Hasyim
Bertambahnya
kekuasaan politik Islam dalam struktur pemerintahan ini meberikan
pengalaman berharga.pemerintah Jepang membubarkan MIAI pada bulan Oktober
1943,karena dinilai anti Jepang dan tidak disukai Jepang karna tidak bisa
dikendalikan,lalu Jepang membentuk organisasi federatif baru,Masyumi
(Majelis Syura Muslim Indonesia) pada tanggal 24 Oktober 1943 menggantikan
MIAI,dalam Masyumi seumua organisasi Muslim tergabung,basis organisasi adalah
semua organisasi yang tergabung di MIAI,Muhammadiyah,NU,dan Persis.Ketua
pertamanya adalah K.H Hasyim Asy’ari dari NU dengan wakilnya K.H Wahab
Hasbullah. Wondoamisino dari PSII bekas ketua MIAI . Masyumi dibentuk
untuk mendukung pemerintah pendudukan Jepang,namu beberapa pemimpinnya berusaha
melencengkan tujuan tersebut,dan upaya ini berhasil ,tokoh-tokoh masyumi
tetap memegang peran politik penting meskipun Jepang telah bertekuk lutut
kepada sekutu.Pemimpin Masyumi menjalin hubungan yang erat dengan Shumbu
pemimpin kelompok Islam,selama 9 bulan pertama tahun 1944,golongan nasinal
sekular mengalami kemerosotan sehingga tidak mampu menyaingi Masyumi.
Menjelang
proklamasi terutama setelah BPUPKI dibentuk,Jepang memberikan porsi yang lebih
besar kepada golongan nasional sekuler daripada golongan Islam,Jepang nampaknya
lebih mempersiapkan golongan nasinal sekuler untuk memegang kendali politik
Indonesia setelah kemerdekaan.
2. Politik Islam
masa Kemerdekaan
Pada
masa kemerdekaan, Umat Islam malah hampir tidak memiliki negara karena
kebanyakan bangsa muslim ketika itu berada dibawah penjajahan bangsa-bangsa
barat seperti Inggris, Portugis, Spanyol dan Belanda. Akan tetapi keinginan
untuk mendirikan sebuah negeri sendiri tetap ada, karena itu didalam sejarah,
umat Islam melakukan perlawanan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa-bangsa barat. Demikian pula perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam dalam menentang kolonialisme Belanda. Kehadiran
bangsa-bangsa Asing di wilayah Indonesia menimbulkan dampak besar bagi kekuatan
Islam yang diwakili oleh kerajaan-kerajaan Islam nusantara menghadapi kekuatan
asing (barat) tidak dapat dihindarkan. Dari berbagai konfrontasi itu secara
keseluruhan kerajaan-kerajaan Islam nusantara dapat dikalahkan sehingga secara
sistematis mengalami deligitimasi politik yang berakhir dengan dijajahnya
sebagaian besar wilayah Nusantara
Jadi Sistem politik yang berkembang pada masa itu adalah sistem politik
yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam sebagai sebuah keyakinan akan kebenaran
yang hakiki dan pemberi legitimasi dalam perjuangannya.
Berdasarkan
hal tersebut maka tidak mengherankan apabila politik Belanda pada masa itu
selalu diwarnai oleh kecurigaan, kewaspadaaan dan ketakutan terhadap segala
sesuatu yang berbau Islam, sehingga melakukan kebijakan yang sangat membatasi
ruang gerak umat Islam. Pendekatan yang Islamophobia ini mengalami perubahan
ketika Snouk Hurgronye menjadi penasehat kerajaan Belanda dengan membuat
rekomendasi sebagai dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda yakni melakukan
stabilitas keamanan dan menarik hati rakyat Indonesia dengan mendirikan
sekolah-sekolah modern. Menurut pemerintah Belanda, Produk lembaga pendidikan
ini adalah menciptakan pegawai negeri dengan tugas membantu Belanda dalam
mensosialisasikan nilai-nilai Barat. Hal ini menurut Hurgronye sebagai langkah
yang paling efektif mengurangi dan pada akhirnya menghilangkan pengaruh Islam
Indonesia. Akan tetapi kebijakan ini menjadi boomerang karena lembaga
pendidikan tersebut melahirkan tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam
pergerakan nasional Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda ini pula muncul
berbagai organisasi Islam yang sangat berpengaruh seperti Sarekat Islam (SI),
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama (NU).[8]
Berbeda dengan Belanda yang menerapkan politik netral agama, menjelang perang
Dunia II, Jepang menarik umat Islam di Indonesia dengan slogan anti Barat yang
diharapkan dapat memberikan dukungan politik terhadap Jepang dalam perang Dunia
II. Menurut Harry J. Benda perbedaan pola kebijakan Belanda dan Jepang terhadap
umat Islam disebabkan oleh:
Pertama, yang menjadi sandaran politik
kolonial Belanda kaum priyayi, sedangkan Jepang adalah golongan Islam dan
nasionalis sekuler
Kedua, yang menjadi juru bicara pergerakan Nasional
Belanda adalah pemimpin nasionalis sekuler sedangkan Jepang adalah Islam
ketiga, Pemerintah Belanda cenderung tidak pernah memberikan kesempatan kepada
golongan Islam sedangkan pemerintah Pendudukan Jepang justru sebaliknya.
Akomodasi politik Islam pada masa Pendudukan Jepang didasarkan pada
pertimbangan bahwa para ulama dan pemimpin Islam yang lain tidak saja dipandang
Jepang sebagai pemimpin formal, tapi juga sebagai tokoh- tokoh masyarakat
mayoritas Islam yang sangat berpengaruh[9]
Hal ini merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap peran pemimpin informal
dibandingkan dengan pemimpin formal karena jumlahnya sangat besar dan
mampu menggerakkan para pengikutnya dalam waktu singkat guna
menghadapi perang dunia II. Salah satu bentuk perhatian Jepang terhadap
golongan Islam ini adalah pemberian prioritas untuk mendirikan
organisasi-organisasi Islam, yakni pada tanggal 10 september 1943 Nahdatul
Ulama dan Muhammadiyah di sahkan kembali mejadi organisasi Islam yang diakui
oleh pemerintah pendudukan Jepang, disusul dengan perserikatan umat Islam dan
Persatuan Umat Islam. Bahkan sebagai pengganti MIAI yang dibubarkan pada tahun
1943 yang dinilai anti Jepang,
Pemerintah Jepang
mengizinkan pendirian organisasi gabungan dengan nama Masyumi (majelis Syuro
Muslimin Indonesia), Masyumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di gedung
Madrasah Mu’allimin Muhammadiya,Yogyakarta,tanggal 7-8 November 1945.Dalam
Muktamar tersebut diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik
Islam di Indonesia. Ketua Majelis Syura adalah Hasyim Asy’ari dan salah seorang
wakil ketuanya adalah putranya,Wahid Hasyim, dengan pendukung utama
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama[10] Janji
kemerdekaan dalam waktu dekat yang diucapkan oleh perdana menteri Kuniaki Koiso
didepan parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944 diambil oleh Jepang
karena semakin terdesak dalam perang Pasifik.
Kondisi Sosial Politik Negara Pada Masa Kemerdekaan.
Pasca pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mengalami permasalahan ekonomi
yang sangat kompleks. Misalnya inflasi tinggi, rusaknya infrastruktur, hutang
negara meningkat, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lainsebagainya.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah ekonomi
pasca pengakuan kedaulatan, antara lain kebijakan pemotongan uang, konsep
ekonomi nasional, program gerakan benteng, kebijakan Indonesianisasi, dan
lain-lain.
Di bidang politik, sesuai dengan isi UUDS 1950, maka Indonesia menerapkan
Demokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer. Akibatnya muncul banyak
partai politik. Di sisi lain sistem pemerintahan tidak stabil karena sering
terjadi pergantian kabinet. Beberapa kabinet yang memerintah pada masa
Demokrasi Liberal antara lain Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, AliSastroamijoyo
I, Burhanudin Harahap, Ali Sastroamijoyo II, dan Djuanda.
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dua tahap, yaitu 29 September 1955 untuk
memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante. Pemilu ini ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik.
Konstituante yang diharapkan mampu menghasilkan UUD ternyata gagal,sehingga
tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
membubarkan Konstituante, menyatakan kembali ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS
dan DPAS. Keluarnya Dekrit Presiden menjadi tonggak lahirnya Demokrasi
Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan terhadap
Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR
hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya poros
Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari
keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.
C. Politik Islam dalam Pembentukkan Negara pada Masa Kemerdekaan
Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944. Dalam pembahasan
mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua golongan yang saling
bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler. Salah satu
kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan
nasrni yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut
mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah
“Panitia Sembilan”. Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan
nasionalis sekuler dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan
dari “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah
tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “ Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep ini kemudian
disebut Piagam Jakarta. Piagam ini adalah sebuah kompromi politis ideologis
antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian
besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara berdasarkan Islam.
Meskipun demikian UUD 1945 yang disyahkan sehari setelah proklamasi
kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam piagam Jakarta diganti
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan pencasila sebagai dasar Negara.
Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan kelompok pendukung Pencasila.
Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik
wakil-wakil umat Islam[11] Pada era pasca kemerdekaa harapan untuk
semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling
utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok
besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi
Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai
ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan
sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai baru pada
tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali.
Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang
kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat parta besar pemenang pemilu yaitu
PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup
menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler
mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD
perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan
dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi
yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil
anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara
golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar
negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno
membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959
dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila.[12] Suasana diatas setidaknya menggambarkan
dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk
merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima
secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak
bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam
dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan
ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik
muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok pertama
menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua
menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik dan legalistik
seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.
Berdasarkan pengalaman sejarah umat Islam tersebut sejumlah tokoh dan
ilmuwan muslim telah berusaha untuk merumuskan konsep-konsep dasar mengenai
negara Islam Dalam perdebatan mengenai dasar negara tersebut. Menurut Mohammad
Natsir Islam bukan semata -mata religi, yaitu agama dalam pengertian ruhaniah
saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara
sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak
mengenal pemisahan agama dan politik.
Peranan Islam dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi
telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan
dicapainya suatu kesepakatan antara wakil-wakil Islam dengan para pemimpin
Nasionalis yang netral agama melalui Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.
Piagam ini hanya berumur selama 57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus
1945. Sebagai gantinya maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno memberikan janji
kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945 bersifat sementara.Janji Presiden
Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut sejalan dengan janjinya
terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika dia mengusulkan prinsip
permusyawaratan sebagai salah satu sila dasar negara .
Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan yang
mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan, sebagaimana yang dikutip oleh H.
Endang saifuddin Anshori ketika dia berkata: negara yang kita susun dan yang
kita ingini ialah negara nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita
dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang
penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya
maluku, Bali, Flores, Timor, Kai dan juga Irian barat yang belum masuk wilayah
Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik. (Anshari,1997 : 67) Pidato
Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai kelompok Islam
diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam.
Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi pemikiran
Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang dilakukan oleh
A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam yang
menulis surat kepada Soekarno untuk meminta penjelasan tentang hubungan antara
negara nasional dan negara Islam, dan antara Pancasila dan Ideologi Islam.[13]
3. Politik Masa
Orde Lama
Sejak masa demokrasi Terpimpin,Indonesia mengalami masa yang disebut
Orde Lama,sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa pada tanggal 10
Oktober 1956 ketika sidang Majlis Konstituante dibuka di Bandung,Soekarno
menyatakan bahwa Demokrasi Parlementer perlu diganti Demokrasi
Terpimpin.Walaupun mendapat tantangan dari kelompok Islam yang di pimpin oleh
ketua Masyumi waktu itu (Muhammad Natsir)[14],juga dari PSII, serta Wakil Presiden
Muhammad Hatta yang menyatakan ketidaksetujuannya. Situasi politik sejak saat
itu semakin kacau,terutama masyarakat diluar Jawa.Simpati kepada Hatta cendrung
menjadi sikap anti kepada pemerintah pusat Jakarta.Kekecewaan juga berkembang
di daerah akibat tidak adanya perhatian pusat pada pembangunan daerah
penghasil devisa.Tanggal 15 Februari 1958,pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dibentuk,
Majelis Konstituante hasil pemilu 1955 mulai bersidang di Bandung 10
November 1956 dengan tugas merumuskan UUD.Seperti diketahui ,UUD 1945 yang
menjadi landasan proklamasi telah diganti Konstitusi RIS tahun 1950,UUD masih
bersifat sementara. Karena tidak ada rancangan UU yang rapi, maka muncul
perdebatan. Namun demikian, selama dua tahun masalah yang menyangkut
bentuk negara, sistem parlementer, kekuasaan kepala negara, dapat rampung,
tetapi menyangkut dasar negara terjadi perdebatan yang sangat
sulit,kesepakatan sulit dicapai mengenai dasar negara apakah didasarkan kepada
pancasila atau dasar islam .
Perdebatan muncul lagi pada BPUPKI yang akan merumuskan rancangan UUD
sebagai persiapan menghadapi Indonesia merdeka. Dalam majelis konstituante
1955, mencoba untuk menyalurkan aspirasi secara demokratis untuk membentuk
suatu negara. Apakah negara ini Ropoblik Islam Indonesia atau cukup Republik
Indonesia saja, tuntutan dalam Majelis Konstituante dengan sebab sebagai
berikut:
-Islam adalah sebuah konsep yang utuh yang tidak membedakan negara dan
masyarakat
-Islam telah tampil dalam sejarah Indonesia dalam proses terbentuknya
negara dan bangsa sejak zaman sultan beserta ulama-ulama melawan kolonial.
-Kenyataannya bahwa secara kuantitatif masyarakat Indonesia adalah Islam.
Ketiga faktor ini memberikan suatu realitas dan legalitas tuntutan umat
islam itu menjadi sangat wajar,akan tetapi ketika struktur iu duajukan untuk
memperoleh konfirmasi politik keadaannya enjadi lain,hasil pemilu tiga partai
Islam (Masyumi,NU,dan Perti) hanya memiliki 44%,kelompok pancasila 56%.Kondisi
ini juga tidak akan berhasil mencapai kuoru karena menurut peraturan untuk
menetapkan UUD harus menerima sekurang kurangnya mencapai ¾ atau 67%. Oleh
karena itu muncul usulan kembali ke UUD 1945.
Dalam Demokrasi terpimpin, Soekarno membut slogan-slogan politik, pancasila
menjadi Trisilia, diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.Dalam
Demokrasi Terpimpin, Soekarno bertindak layaknya sebagai sultan-sultan dalam
sejarah lama, seluruh kehendaknya mesti dituruti,Masyumi melakukan
oposisi,sehingga keadaan Masyumi semakin kacau ketika Presiden Soekarno
mengeluarkan PenPres No.7 tahun 1959 mengenai hak hidup partai yang terlibat
pemberontakan. Pada Agustuas 1960 Presiden mengeluarkan PenPers No.200
tahun 1960 yang mendesak pimpinan Masyumi untuk membubarkan partainya.Tanggal 13
September peimpin pusat Masyumi menyatakan pembubaran partai,dengan
pembubaran Masyumi sebagai partai yang berciri khas Islam merupakan titik awal
proses transfortasi sosial politik Indonesia kearah negara dan birokrasi,dimana
kepemimpinan dan kutub-kutub kekuatan politik tidak lagi bersandar pada
kekuatan Islam,dengan demikian,terjadi perubahan politik ulama,dari politik
praktisi kearah pembinaan umat melalui pendidikan,selain itu melalui dakwah
lewat organisasi sosial dan sekolah-sekolah seperti yang dilakukan oleh
M.Natsir,Farid Prawiranegara serta peimpin Masyumi lainnya.Berpindahnya sistem
demokrasi Parlemen ke demokrasi Terpimpin berarti berpindahnya kekuasaan dari
parlemen ketangan satu orang,yaitu Soekarno. Perubahan itu sesuai dengan
tradisi budaya Indonesia,terutama Jawa, yang smua kekuasaan, politik,ekonomi,
terpusat ditangan seorang raja.
Pada Demokrasi Terpimpin,Masyumi dan PSII dibubarkan.Akan tetapi masih ada
wakil umat Islam di parlemen yaitu: NU, meskipun NU mengikui kehendak Soekarno,
tetapi NU dapat menandingi PKI, Kalau PKI membuat Lekra, NU membuat lembaga
seni budaya muslim (Lesbumi),dalam perburuhan , PKI punya Sobsi, NU punya
Serikat Buruh Muslim Indonesia (Serbumusi).Sejumlah organisasi
khusus,organisasi pelajar dan mahasiswa seperti IPNU,PMII,juga untuk
mengimbangi kekuatan PKI, NU, PSII, dan Perti mendirikan organisasi seperti
HMI, PII, Pemuda Muhammadiyah, serta IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Tahun
1964, PKI melancarkan melancarkan aksi mereka merebut tanah perkebunan, tanah wakaf,
melakukan penggerebekan, dan penganiayaan. Tahun 1965, terjadi pemberontakan
antara orang-orang PKI, dan Islam antara komunis dengan kaum santri, sehingga
menimbulkan kekacauan dimana-mana.
Dalam kondisi ekonomi dan politik tidak menentu, tersia kabar bahwa
Soekarno sakit, D.N.Aidit telah menyusun suatu rencana melakukan tindakan
kekerasan,sasarannya adalah para pemimpin angkatan darat dengan desas desus
bahwa dikalangan angkatan darat telah dibentuk Dewan Jendral yang akan
melakukan kudeta terhadap Soekarno, Pada tanggal 30 September malam, dibawah
koando Syam, ketua biro khusus CC PKI,Kolonel untung dan pasukannya melakukan
penculikan pembunuhan sejumlah Jenderal Angkatan Darat di Jakarta, peristiwa
ini terkenal dengan G30S PKI.
Pada tanggal 1 Oktobrer 1965 diadakan pertemuan antara HMI, Pemuda
Muhammadiyah, PII, dan PMRI .Dalam pertemuan ini disepakati untuk mengadakan
kerja sama menghadapi kemungkinan perebutan kekuasaan yang terjadi akibat G30S
PKI. Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk melakukan jihad melawan PKI. G30S
PKI adalah suatu pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, terjadinya
peristiwa G30S PKI merupakan titik klimaks dari pertentangan idiologi yang
sangat tajam di zaman Demokrasi Terpimpin.,Tahun 1966, aksipemuda, mahasiswa
dan pelajar bersama ABRI berhasil menurunkan Soekarno dan membubarkan PKI serta
melarang seua ajaran komunis di Indonesia.[15]
4. Politik Islam
Masa Orde Baru
Sejak terjadinya G30S PKI tahun 1965, kedudukan Soekarno semakin kritis
yang mengakibatkan ia harus mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(SUPERSEMAR) untuk menugaskan Soeharto mengambil segala tindakan guna
menyelamatkan negara, yakni membubarkan PKI dan menangkap semua mentri yang
terlibat. Pada Bulan Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum ke IV yang
menetapkan SUPERSEMAR sah di mata hukum dan mengembalikan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Hal ini mengakibatkan konsensus nasional
dimana semua kelompok partai mesti berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945.
Di Kalangan Umat Islam , kemenangan terhadap G30S PKI dianggap sebagai
kesempatan untuk merehabilitasi Masyumi sehingga bisa memperjuangkan Islam
melalui jalan politik. Akan tetapi Orde Baru menolak. Sebagai gantinya, tanggal
20 Februari 1968, Surat keputusan presiden No 70/68 mengesahkan partai Muslimin
Indonesia ( Parmusi).
Kemudian muncul penyederhanaan partai yang di kelompokkan menjadi beberapa
kelompok seperti :
-Kelompok Nasionalis (PNI, IPKI, Murba ) menjadi Partai Demokrasi
Indonesia(PDI)
-Kelompok Spiritual (NU , PMI ( parmusi ) PSII ,Perti, Parkindo dan
Khatolik di lebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) .Belakangan karena
Parkindo dan Katolik berbeda agama maka mereka berafiliasi dengan nasionalis.
-Golongan Karya.
Pada masa orde baru, umat islam berhasil menggalang persatuan, sehingga
pada pemilu tahun 1971 perolehan kursi partai mendapat 94 kursi. Dan pemilu
tahun 1977 PPP meraih 99 kursi namun dikarenakan menghadapi pembagian kursi di
DPR/MPR dan sikap politik yang berbeda sehingga menimbulkan ketegangan.
Akibatnya, pada pemilu 1982 perolehan kursia PPP menurun dan pembagian kursi NU
merasa dirugikan. Akibatnya, dalam mukhtamar ke-24 tahun 1984 NU keluar dari
PPP dan kembali ke organisasi sosial. Sehingga pada pemilu tahun 1987 PPP
mengalami ke merosotan yang luar biasa.
Menjelang di berlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak
yang cemas karena UU no 8/ 1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas
tunggal yang berarti dilarang mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau
identitas sendiri. Akibatnya, partai islam PPP harus benghapus asas islamnya
dan menjadi partai nasionalis tanpa ciri islam. Sementara sikap NU sejak dini
bisa menerima pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan dalam muhammadiyah
lebih berhati-hati dalam menerima asas tunggal tersebut.
Sesudah
asas tunggal diterima oleh umat islam, umat islam mulai berjuang untuk
mengatasi berbagai macam masalah, seperti:
(1)Monopoli pengelolaan perjalanan haji.
(2)Pelaksanaan hukum islam (RUU perkawinan).
(3)Masalah antara umat dengan pemerintah yang semakin berkembang, sehingga
memunculkan MUI pada tahun 1975.
(4)Masalah ekonomi pemerintah membuat Bazis (badan amil zakat infaq
shodaqoh) kemudian dibentuk juga koperasi-koperasi umat dan bank perkreditan
rakyat, seperti NU mendirikan bank Nusuma dan Muhammadiyah mendirikan bank
Matahari. Selanjutnya berdiri lah bank islam pertama tanpa bunga, yakni bank
Muamalat Namun, Soeharto adalah seorang yang dikatakan melanjutkan politik
Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa umat islam harus diberi fasilitas,
sehingga umat tersebut berkembang dalam bidang sosial keagamaan saja tetapi
dibidang politik tidak di beri kesempatan. Soeharto dalam pemerintahannya
semakin jauh kearah kekerasan. Parai politik pemerintah, Golkar merekayasa
pemilu tahun 1971 dan meraih 63 suara. Golkar menarik pendukung dari mantan
komunis, PNI, masyumi dan NU sehingga menyebabkan Golkar semakin kokoh
mendominasi kekuatan politik. Kemudian Soeharto dengan kkuatan ABRI nya
merekayasa segala macam cara sehingga dapat berkuasa selama 32 tahun. Akibatnya
KKN merajalela, hutang negara dalam jumlah besar, dan hancurnya etikan
nasional. Sehingga negeri dan bangsa ini mengalami kebangkrutan dan kebobrokan
moral.
Pada 19 mei 1998 tejadi unjuk rasa besar-besaran oleh mahasiswa yang
menduduki gedung DPR/ MPR dan menginginkan agar Soeharto turun dari jabatannya.
Akhirnya pada 21 mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dan digantikan oleh
BJ Habibie yang menjadi wakil presiden pada masa itu .[16]
5. Politik Islam
Masa Reformasi
jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan
munculnya pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal itu tercermin dari
kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti
pemilu 1999. Termasuk di dalamnya partai Islam. Keadaan ini juga mempengaruhi
ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk
memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya. Seperti kampanye pemilu
1999 ada beberapa Ulama NU yang membela partai PKB.
Selain Ulama-Ulama NU , ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi
muda Masyumi yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang
bergabung dengan PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari
Muhammadiyah,sedangkan PBB ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para
mahasiswa dan halqah kampus turut mendirikan partai Islam , yaitu Partai
Keadilan (belakangan PKS) yang menarik sebagian ulama yang merupakan alumnus
Timur Tengah.
Belakangan, dua partai , PKB dan PAN menyatakan diri sebagai partai yang
berasaskan Pancasila dan bersifat nasionalis, tetapi basisnya adalah massa
Islam.
Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam
pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang
bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah
terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan
ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing. Kondisi ini
akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan
memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering di
manfaatkan oleh golongan partai lain[17].
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
(1)Ilmu politik adalah ilmu yang mengkaji hubungan- hubungan manusia dengan
negara dan manusia dengan manusia. Dalam Islam hal ini juga merupakan bidang
agama karena ia mencakup semua segi kehidupan. Islam tidak menyetujui
penyekatan antara agama dan politik. Islam ingin melaksanakan politik selaras
dengan tuntunan yang diberikan agama dan menggunakan negara sebagai pelayan
Tuhan. Islam menggunakan kekuatan politik untuk mereformasi masyarakat agar
tidak terjatuh ke dalam tempat yang paling buruk.
(2) Pada awalnya perjuangan Umat Islam dalam bidang politik pada masa
penjajahan adalah untuk menegakkan akidah , melawan kekafiran,dan melawan
ketidakadilan para penjajah pada masa itu. Namun Seiring berjalannya waktu Umat
Islam mulai menyadari bahwa perjuangan mereka tidak akan berhasil kalau
melanjutkan cara-cara tradisional. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan
perubahan yang walaupun berasal dari pengaruh kolonial sendiri, yaitu
berjuang melalui organisasi-organisasi , baik bidang sosial pendidikan ataupun
di bidang pergerakan politik. Diantara organisasi pergerakan yang lahir dan
memiliki peranan yang besar hingga saat ini adalah Muhammadiyah yang didirikan
oleh K.H Ahmad Dahlan dan NU yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari.
(3)Kehadiran ulama dalam bidang politik seharusnya memiliki dampak positif,
dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur
politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama
sudah terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama
dengan ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing.
Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat,
sehingga akan memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya
sering di manfaatkan oleh golongan partai lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al Maududi, abu a’la, Sistem Politik Islam, Bandung :
Mizan, 1993
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/agama_islam/bab11-agama_islam_dan_politik.pdf
J. Benda Harry,. Bulan Sabit dan matahari terbit, Islam di
Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Jakarta : Pustaka Jaya,1980.
Noer,Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,1982.
Noer,Deliar, Partai – Partai Islam di Pentas Nasional.
Jakarta : Grafiti Pers1987.
Soekarno, Negara Nasional dan Cita-cita Islam , Jakarta:
Seridokumentar,2003.
Sunanto Musyrifah, Sejarah peradaban Islam Indonesia,
Jakarta : P.T. Raja Grafindo, 2005
Suryanegara, Ahmad Mansur , Menemukan Sejarah, Bandung :
Mizan, 1995
Syafi’i, Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta:
LP3S,1987.
Thaba, Abdul azis, Islam dan Negara , Jakarta : Gema
Insani Pers, 1996,
[3] Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia (
Jakarta : P.T. Raja Grafindo, 2005 ), h.29
[8].Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
(Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,1982),hlm.126.
[10] Harry, J. Benda. Bulan Sabit dan matahari terbit, Islam di
Indonesia pada masa pendudukan Jepang. (Jakarta : Pustaka Jaya,1980). Hlm
88
[14] Deliar Noer,Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,
(Jakarta:PT.Pustaka Grafiti,1987),hal.354.
[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta:
PT Raja Grapindo Persada,),hal.67-75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kamu di sini ya..!
Silahkan isi dan komentari dengan sopan
Salam Blogger.