perkembangan Politik Islam Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang

Ilmu politik adalah ilmu yang mengkaji hubungan- hubungan manusia dengan negara dan manusia dengan manusia. Dalam Islam hal ini juga merupakan bidang agama karena ia mencakup semua segi kehidupan. Islam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik. Islam ingin melaksanakan politik selaras dengan tuntunan yang diberikan agama dan menggunakan negara sebagai pelayan Tuhan. Islam menggunakan kekuatan politik untuk mereformasi masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam tempat yang paling buruk.[1]

Sejarah mencatat bahwa perjalanan Bangsa Indonesia  tidak terlepas dari peran umat Islam. Seperti Ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Umat Islam Indonesia yang diwakili Para Ulama, kyai, santri dan rakyat dengan gigihnya berusaha mempertahankan akidah dan melawan penindasan serta ketidakadilan yang mereka terima dari para penjajah. Hal ini yang kemudian memunculkan pemberontakan dan pergolakan di berbagai daerah di Indonesia seperti Perang Jawa yang di pimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830)  perang Padri di Sumatera Barat yang di pimpin oleh Imam Bonjol (1821-1837) dan perang Aceh yang di pimpin Oleh panglima Polim (1873-1904). Serta memunculkan juga beberapa pergerakan dan Organisasi Masyarakat seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah yang kemudian berkembang menjadi organisasi yang berpengaruh dan memiliki massa pengikut  yang banyak.

Dalam makalah ini penulis berusaha memaparkan perkembangan politik Islam Indonesia dari masa ke masa yang di mulai dari masa penjahan Belanda ,masa  penjajahan  Jepang , masa kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru dan politik Islam masa reformasi.
  
2.      Rumusan Masalah

Bagaimana Masyarakat Indonesia berpegang teguh dengan Islam ketika masa penjajahan?

Apa saja yang menjadi sasaran Islam itu sendiri ?

Bagaimanakah perkembangan politik Islam Indonesia dari masa ke masa yang di mulai dari    masa Penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa Kemerdekaan, masa orde lama,     masa Orde Baru, dan perkembangan politik Islam  masa reformasi?

3.      Manfaat Yang Diproleh
(a)Mengetahui perjuangan rakyat Indonesia terkhusus Umat Islam dalam menghadapi kesulitan, penindasan dan ketidakadilan serta menganalisis bagaimana mereka berpegang teguh dengan Islam ketika masa penjajahan?
(b)Mengetahui apa saja sebenarnya yang menjadi sasaran Islam itu sendiri?
(c)Mengetahui perkembangan politik Islam Indonesia dari masa ke masa, bagaimanakah perkembangan politik islam di masa Penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa Kemerdekaan, masa orde lama, masa Orde Baru, dan perkembangan politik Islam di  masa reformasi ?




BAB II
PEMBAHASAN

1.   Politk Islam Masa Penjajahan
Masa penjajahan Belanda

Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1596 dengan tujuan berdagang dan mencari rempah – rempah. Kemudian, pada tahun 1602 ketika orang Belanda yang datang semakin banyak Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan perdagangan yang diberi nama VOC. [2]

Pada tahun1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan perjanjian Giyanti yang menyebabkan raja kehilangan kekuasaan politiknya. Di tambah lagi dengan ikut campurnya pemerintah kolonial terhadap kehidupan keraton yang menyebabkan peran ulama sebagai penasihat keraton semakin tersingkir. Eksploitasi dan perampasan tanah dan sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat terus di galakkan oleh pemerintah kolonial sehingga semakin membuat rakyat semakin ketakutan dan mencari sosok pemimpin non formal ( ulama ) ketika peran para raja sudah dinggap tidak bisa mengayomi dan melindungi mereka.[3]

Akhirnya para ulama mendidik dan merekrut para santri dan masyarakat untuk dijadikan prajurit sukarela yang memiliki moral dan semangat berjihad untuk membela agama, bangsa dan negara. Mereka melakukan perlawanan dan pergolakan , setidaknya ada empat kali peperangan besar yang melibatkan para Ulama dan santri seperti perang Cirebon (1802-1806 ), perang Diponegoro ( 1825- 1830 ), perang Padri ( 1821-1838 ) dan perang Aceh (1873-1908) yang merupakan perang santri terlama sehingga Belanda menghadapi peperangan tersebut sampai akhir kekuasaanya, dimana para ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya sampai tahun 1942.[4]

Kemudian seiring perjalanan waktu para ulama menyadari bahwa perjuangan mereka tidak akan berhasil kalau melanjutkan cara-cara tradisional. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan perubahan yang walaupun  berasal dari pengaruh kolonial sendiri, yaitu berjuang melalui organisasi-organisasi , baik bidang sosial pendidikan ataupun di bidang pergerkan politik. [5]

Diantara organisasi pergerakan sosial yang berdiri untuk kepentingan ummat adalah:[6]

-Pada tanngal 16 Oktober 1905 H.Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI)
-Pada tahun 1905 berdiri Jamiatul Khairiyah
-Pada tahun 1911 SDI berubah menjadi SI
-Pada tanggal 18 November 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah,dasar gerakan ini adalah Alquran dan Sunnah ,anti taqlidisme, dan bid’ah dalam agama.
-Syekh Ahmad Syurkati mendirikan gerakan Al Irsyad
-A.Hasan dan K.H. Zamzam mendirikan Persatuan Islam 17 september 1923 di Bandung
-Pada tanggal 31 Januari 1926 K.H.Hasyim Asy’ari mendirikan NU yang menitikberatkan pada kemurnian mazhab.
-Di Sumatera Barat berdiri PERTI pada tahun 1928
-Pada tanggal 30 November 1930 berdirilah Al Washliyah di Medan.

Organisasi Pergerakan Politik :

-Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam pada tahun 1923
-Permi ( persatuan Muslimin Indonesia ) didirikan sesudah Thawalib Sumatera
-Partai Arab Indonesia di bawah pimpinan AR. Baswedan didirikan untuk memperjuangkan tanah air bangsa Indonesia.
-Pada tahun 1937 terbentuklah MIAI yang di pimpin oleh K.H Mas Mansur dan K.H. Ahmad Dahlan.

b.      Masa penjajahan Jepang

Tahun 1938-1945 terjadi Perang Dunia II antara Jerman, Italy, dan Jepang berhadapan dengan sekutu yang terdiri dari Inggris, Prancis,Rusia, ditambah Amerika. Front Pasifik meletus tanggal 8 Desember 1941 ketika Amerika membuka front baru menghadapi Jepang yang menjatuhkan bom di Pearl Harbour,sebuh pangkalan militer Amerika. Hindia-Belanda (Nusantara) dibawah jajahan Belanda melalui pidato Ratu Wilhelmina mengumumkan perang kepada Jepang. Dengan demikian,tak heran kalau Hindia-Belanda menjadi salah sasaran Jepang. Satu persatu wilayah Hindia-Belanda menyerah tanpa syarat.Pecahnya perang fasifik (1942-1945) mengakibatkan Belanda menyerah pada bulan Maret 1942  tanpa perlawanan berarti. Sampai tahun terakhir penjajahan Belanda,timbul kekecewaan mendalam dikalangan Islam karna semua tuntutan mereka ditolak oleh pemerintah kolonial. Belanda lebih banyak berunding dengan kelompok nasional sekular,yang dianggap wakil tunggal Indonesia.

Pada awal kedatangan Jepang, timbul simpati dan harapan baru bangsa Indonesia. Apalagi  dalam siaran radio tokyo diumumkan bahwa tujuan perang fasifik adalah mengusir orang-orang kulit putih dari bumi Asia. Sebelumnya, Jepang banyak melakukan aktifitas internasional untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang beragama Islam dan meniupkan slogan anti Barat.

Kebijakan pemerinah Jepang setelah mengambil alih kekuasaan Belanda adalah melarang semua kegiatan organisasi-organisasi politik yang ada dan berupaya membangun organisasi semi militer dengan menjalin kerjasama dengan golongan nasional sekuler maupun golongan Islam.Sebagai penjajah, Jepang jauh lebih kejam daripada Belanda ,Jepang merampas semua harta milik rakyat untuk kepentinga perang ,sehingga rakyat mati kelaparan. Tujuan mereka adalah menggalang masa untuk mendukung rezim pendudukan. Pada awalnya Jepang berminat membentuk sebuah perhimpunan organisasi politik melalui “Gerakan Tiga A”,dibawah pimpinan Syamsudddin, bekas pimpinan Parindra, diharapkan dengan pembentukan organisasi ini, rakyat indonesia akan membantu mereka dala  perang pasifik dan menyukseska propaganda “kemakmuran Asia Timur Raya”. Karena gagal mendapat dukungan rakyat ,”Gerakan Tiga A” dibubarkan[7],sementara itu, MIAI tetap dipertahankan dan menjadi organisasi independen tanpa terikat pada organisasi lainnya.

Selanjutnya, sebagai ganti “Gerakan Tiga A”, Jepang membentuk Putera (pusat tenaga rakyat) dalam rangka menggalang massa, Ada hal yang menarik dari pembentukan Putera, hasil yang terpenting adalah meningkatnya kesadaran rakyat Indonesia, terutama keinginan mereka untuk mencapai kemerdekaan. Jepang menerapkan politik mendekati golongan Islam tetapi tidak terhadap kelompok nasional sekular,Jepang mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasi dan menagakui kembali organisasi-organisasi Islam yang belum dibekukan,tetapi tidak membolehkannya bagi organisasi-organisasi nasional sebelum perang,Pada awal pendudukannya, Jepang membentuk kantor Departemen Agama yang disebut Shumubu yang dibentuk  pada Maret 1942, ketua pertama seorang Jepang bernama Horie (1942) dan pada tanggal 1 Oktober 1943 Hosein Djajadiningrat diangkat menjadi kepala Shumuba,tanggal 1 Agustus 1944 digantikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tetapi tugasnya dilaksanakan oleh putranya K.H Wahid Hasyim

Bertambahnya kekuasaan politik Islam dalam struktur  pemerintahan ini meberikan pengalaman berharga.pemerintah Jepang membubarkan MIAI pada bulan Oktober 1943,karena dinilai anti Jepang dan tidak  disukai Jepang karna tidak bisa dikendalikan,lalu Jepang membentuk organisasi federatif  baru,Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) pada tanggal 24 Oktober 1943 menggantikan MIAI,dalam Masyumi seumua organisasi Muslim tergabung,basis organisasi adalah semua organisasi yang tergabung di MIAI,Muhammadiyah,NU,dan Persis.Ketua pertamanya  adalah K.H Hasyim Asy’ari dari NU dengan wakilnya K.H Wahab Hasbullah. Wondoamisino dari PSII bekas ketua MIAI .  Masyumi dibentuk untuk mendukung pemerintah pendudukan Jepang,namu beberapa pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut,dan upaya ini berhasil ,tokoh-tokoh  masyumi tetap memegang peran politik penting meskipun Jepang telah bertekuk lutut kepada  sekutu.Pemimpin Masyumi menjalin hubungan yang erat dengan Shumbu pemimpin kelompok Islam,selama 9 bulan pertama tahun 1944,golongan nasinal sekular mengalami kemerosotan sehingga tidak mampu menyaingi Masyumi.

Menjelang proklamasi terutama setelah BPUPKI dibentuk,Jepang memberikan porsi yang lebih besar kepada golongan nasional sekuler daripada golongan Islam,Jepang nampaknya lebih mempersiapkan golongan nasinal sekuler untuk memegang kendali politik Indonesia setelah kemerdekaan.


2.      Politik Islam masa Kemerdekaan
                  Pada masa kemerdekaan, Umat Islam malah hampir tidak memiliki negara karena kebanyakan bangsa muslim ketika itu berada dibawah penjajahan bangsa-bangsa barat seperti Inggris, Portugis, Spanyol dan Belanda. Akan tetapi keinginan untuk mendirikan sebuah negeri sendiri tetap ada, karena itu didalam sejarah, umat Islam melakukan perlawanan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa barat. Demikian pula perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam menentang kolonialisme Belanda. Kehadiran bangsa-bangsa Asing di wilayah Indonesia menimbulkan dampak besar bagi kekuatan Islam yang diwakili oleh kerajaan-kerajaan Islam nusantara menghadapi kekuatan asing (barat) tidak dapat dihindarkan. Dari berbagai konfrontasi itu secara keseluruhan kerajaan-kerajaan Islam nusantara dapat dikalahkan sehingga secara sistematis mengalami deligitimasi politik yang berakhir dengan dijajahnya sebagaian besar wilayah Nusantara
Jadi Sistem politik yang berkembang pada masa itu adalah sistem politik yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam sebagai sebuah keyakinan akan kebenaran yang hakiki dan pemberi legitimasi dalam perjuangannya.
           Berdasarkan hal tersebut maka tidak mengherankan apabila politik Belanda pada masa itu selalu diwarnai oleh kecurigaan, kewaspadaaan dan ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam, sehingga melakukan kebijakan yang sangat membatasi ruang gerak umat Islam. Pendekatan yang Islamophobia ini mengalami perubahan ketika Snouk Hurgronye menjadi penasehat kerajaan Belanda dengan membuat rekomendasi sebagai dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda yakni melakukan stabilitas keamanan dan menarik hati rakyat Indonesia dengan mendirikan sekolah-sekolah modern. Menurut pemerintah Belanda, Produk lembaga pendidikan ini adalah menciptakan pegawai negeri dengan tugas membantu Belanda dalam mensosialisasikan nilai-nilai Barat. Hal ini menurut Hurgronye sebagai langkah yang paling efektif mengurangi dan pada akhirnya menghilangkan pengaruh Islam Indonesia. Akan tetapi kebijakan ini menjadi boomerang karena lembaga pendidikan tersebut melahirkan tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda ini pula muncul berbagai organisasi Islam yang sangat berpengaruh seperti Sarekat Islam (SI), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU).[8]

              Berbeda dengan Belanda yang menerapkan politik netral agama, menjelang perang Dunia II, Jepang menarik umat Islam di Indonesia dengan slogan anti Barat yang diharapkan dapat memberikan dukungan politik terhadap Jepang dalam perang Dunia II. Menurut Harry J. Benda perbedaan pola kebijakan Belanda dan Jepang terhadap umat Islam disebabkan oleh:
Pertama, yang menjadi sandaran politik kolonial Belanda kaum priyayi, sedangkan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler
Kedua, yang menjadi juru bicara pergerakan Nasional Belanda adalah pemimpin nasionalis sekuler sedangkan Jepang adalah Islam ketiga, Pemerintah Belanda cenderung tidak pernah memberikan kesempatan kepada golongan Islam sedangkan pemerintah Pendudukan Jepang justru sebaliknya. Akomodasi politik Islam pada masa Pendudukan Jepang didasarkan pada pertimbangan bahwa para ulama dan pemimpin Islam yang lain tidak saja dipandang Jepang sebagai pemimpin formal, tapi juga sebagai tokoh- tokoh masyarakat mayoritas Islam yang sangat berpengaruh[9]

Hal ini merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap peran pemimpin informal dibandingkan dengan pemimpin formal karena jumlahnya sangat besar dan mampu    menggerakkan para pengikutnya dalam waktu singkat guna menghadapi perang dunia II. Salah satu bentuk perhatian Jepang terhadap golongan Islam ini adalah pemberian prioritas untuk mendirikan organisasi-organisasi Islam, yakni pada tanggal 10 september 1943 Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah di sahkan kembali mejadi organisasi Islam yang diakui oleh pemerintah pendudukan Jepang, disusul dengan perserikatan umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Bahkan sebagai pengganti MIAI yang dibubarkan pada tahun 1943 yang dinilai anti Jepang,

          Pemerintah Jepang mengizinkan pendirian organisasi gabungan dengan nama Masyumi (majelis Syuro Muslimin Indonesia), Masyumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiya,Yogyakarta,tanggal 7-8 November 1945.Dalam Muktamar tersebut diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua Majelis Syura adalah Hasyim Asy’ari dan salah seorang wakil ketuanya adalah putranya,Wahid Hasyim, dengan pendukung utama Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama[10] Janji kemerdekaan dalam waktu dekat yang diucapkan oleh perdana menteri Kuniaki Koiso didepan parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944 diambil oleh Jepang karena semakin terdesak dalam perang Pasifik.

Kondisi Sosial Politik Negara Pada Masa Kemerdekaan.
Pasca pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mengalami permasalahan ekonomi yang sangat kompleks. Misalnya inflasi tinggi, rusaknya infrastruktur, hutang negara meningkat, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lainsebagainya.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah ekonomi pasca pengakuan kedaulatan, antara lain kebijakan pemotongan uang, konsep ekonomi nasional, program gerakan benteng, kebijakan Indonesianisasi, dan lain-lain.
Di bidang politik, sesuai dengan isi UUDS 1950, maka Indonesia menerapkan Demokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer. Akibatnya muncul banyak partai politik. Di sisi lain sistem pemerintahan tidak stabil karena sering terjadi pergantian kabinet. Beberapa kabinet yang memerintah pada masa Demokrasi Liberal antara lain Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, AliSastroamijoyo I, Burhanudin Harahap, Ali Sastroamijoyo II, dan Djuanda.
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dua tahap, yaitu 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Pemilu ini ternyata tidak mampu menciptakan stabilitas politik.
Konstituante yang diharapkan mampu menghasilkan UUD ternyata gagal,sehingga tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante, menyatakan kembali ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Keluarnya Dekrit Presiden menjadi tonggak lahirnya Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi beberapa penyimpangan terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan presiden seumur hidup, terbentuknya poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB merupakan sejumlah contoh dari penyimpangan tersebut.

C. Politik Islam dalam Pembentukkan Negara pada Masa Kemerdekaan

Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944. Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler. Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrni yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah “Panitia Sembilan”. Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep ini kemudian disebut Piagam Jakarta. Piagam ini adalah sebuah kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara berdasarkan Islam.

Meskipun demikian UUD 1945 yang disyahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan pencasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan kelompok pendukung Pencasila. Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam[11] Pada era pasca kemerdekaa harapan untuk semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat parta besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.

Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila.[12] Suasana diatas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.

Berdasarkan pengalaman sejarah umat Islam tersebut sejumlah tokoh dan ilmuwan muslim telah berusaha untuk merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negara Islam Dalam perdebatan mengenai dasar negara tersebut. Menurut Mohammad Natsir Islam bukan semata -mata religi, yaitu agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama  manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.


Peranan Islam dalam Konstituante

Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara wakil-wakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama 57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945 bersifat sementara.Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu sila dasar negara .

Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan, sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika dia berkata: negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah negara nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya maluku, Bali, Flores, Timor, Kai dan juga Irian barat yang belum masuk wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik. (Anshari,1997 : 67) Pidato Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam.

Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan antara Pancasila dan Ideologi Islam.[13]





3.      Politik Masa Orde Lama

 Sejak masa demokrasi Terpimpin,Indonesia mengalami masa yang disebut Orde Lama,sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa pada tanggal 10 Oktober 1956 ketika sidang Majlis Konstituante dibuka di Bandung,Soekarno menyatakan bahwa Demokrasi Parlementer perlu diganti Demokrasi Terpimpin.Walaupun mendapat tantangan dari kelompok Islam yang di pimpin oleh ketua Masyumi waktu itu (Muhammad Natsir)[14],juga dari PSII, serta Wakil Presiden Muhammad Hatta yang menyatakan ketidaksetujuannya. Situasi politik sejak saat itu semakin kacau,terutama masyarakat diluar Jawa.Simpati kepada Hatta cendrung menjadi sikap anti kepada pemerintah pusat Jakarta.Kekecewaan juga berkembang di daerah akibat tidak  adanya perhatian pusat pada pembangunan daerah penghasil devisa.Tanggal 15 Februari 1958,pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dibentuk,

Majelis Konstituante hasil pemilu 1955 mulai bersidang di Bandung 10 November 1956 dengan tugas merumuskan UUD.Seperti diketahui ,UUD 1945 yang menjadi landasan proklamasi telah diganti Konstitusi RIS tahun 1950,UUD masih bersifat sementara. Karena tidak ada rancangan UU yang rapi, maka muncul perdebatan. Namun demikian, selama dua tahun masalah yang  menyangkut bentuk negara, sistem parlementer, kekuasaan kepala negara, dapat rampung, tetapi menyangkut  dasar negara terjadi perdebatan yang sangat sulit,kesepakatan sulit dicapai mengenai dasar negara apakah didasarkan kepada pancasila atau dasar islam .

Perdebatan  muncul lagi pada BPUPKI yang akan merumuskan rancangan UUD sebagai persiapan menghadapi Indonesia merdeka. Dalam majelis konstituante 1955, mencoba untuk menyalurkan aspirasi secara demokratis untuk membentuk suatu negara. Apakah negara ini Ropoblik Islam Indonesia atau cukup Republik Indonesia saja, tuntutan dalam Majelis Konstituante  dengan sebab sebagai berikut:
-Islam adalah sebuah konsep yang utuh yang tidak membedakan negara dan masyarakat
-Islam telah tampil dalam sejarah Indonesia dalam proses terbentuknya negara dan bangsa sejak zaman sultan beserta ulama-ulama melawan kolonial.
-Kenyataannya bahwa secara kuantitatif masyarakat Indonesia adalah Islam.
Ketiga faktor ini memberikan suatu realitas dan legalitas tuntutan umat islam itu menjadi sangat wajar,akan tetapi ketika struktur iu duajukan untuk memperoleh konfirmasi politik keadaannya enjadi lain,hasil pemilu tiga partai Islam (Masyumi,NU,dan Perti) hanya memiliki 44%,kelompok pancasila 56%.Kondisi ini juga tidak akan berhasil mencapai kuoru karena menurut peraturan untuk menetapkan UUD harus menerima sekurang kurangnya mencapai ¾ atau 67%. Oleh karena itu  muncul usulan kembali ke UUD 1945.

Dalam Demokrasi terpimpin, Soekarno membut slogan-slogan politik, pancasila menjadi Trisilia, diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.Dalam Demokrasi Terpimpin, Soekarno bertindak layaknya sebagai sultan-sultan dalam sejarah lama, seluruh kehendaknya mesti dituruti,Masyumi melakukan oposisi,sehingga keadaan Masyumi semakin kacau ketika Presiden Soekarno mengeluarkan PenPres No.7 tahun 1959 mengenai hak hidup partai yang terlibat pemberontakan. Pada Agustuas 1960 Presiden mengeluarkan  PenPers No.200 tahun 1960 yang mendesak pimpinan Masyumi untuk membubarkan partainya.Tanggal 13 September peimpin pusat  Masyumi menyatakan pembubaran partai,dengan pembubaran Masyumi sebagai partai yang berciri khas Islam merupakan titik awal proses transfortasi sosial politik Indonesia kearah negara dan birokrasi,dimana kepemimpinan dan kutub-kutub kekuatan politik tidak lagi bersandar pada kekuatan Islam,dengan demikian,terjadi perubahan politik ulama,dari politik praktisi kearah pembinaan umat melalui pendidikan,selain itu melalui dakwah lewat organisasi sosial dan sekolah-sekolah seperti yang dilakukan oleh M.Natsir,Farid Prawiranegara serta peimpin Masyumi lainnya.Berpindahnya sistem demokrasi Parlemen ke demokrasi Terpimpin berarti berpindahnya kekuasaan dari parlemen ketangan satu orang,yaitu Soekarno. Perubahan itu sesuai dengan tradisi budaya Indonesia,terutama Jawa, yang smua kekuasaan, politik,ekonomi, terpusat ditangan seorang raja.

Pada Demokrasi Terpimpin,Masyumi dan PSII dibubarkan.Akan tetapi masih ada wakil umat Islam di parlemen yaitu: NU, meskipun NU mengikui kehendak Soekarno, tetapi NU dapat menandingi PKI, Kalau PKI membuat Lekra, NU membuat lembaga seni budaya muslim (Lesbumi),dalam perburuhan , PKI punya Sobsi, NU punya  Serikat Buruh Muslim Indonesia (Serbumusi).Sejumlah  organisasi khusus,organisasi pelajar dan mahasiswa seperti IPNU,PMII,juga untuk mengimbangi kekuatan PKI, NU, PSII, dan Perti mendirikan organisasi seperti HMI, PII, Pemuda Muhammadiyah, serta IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Tahun 1964, PKI melancarkan melancarkan aksi mereka merebut tanah perkebunan, tanah wakaf, melakukan penggerebekan, dan penganiayaan. Tahun 1965, terjadi pemberontakan antara orang-orang PKI, dan Islam antara komunis dengan kaum santri, sehingga menimbulkan kekacauan dimana-mana.

Dalam kondisi ekonomi dan politik tidak menentu, tersia kabar bahwa Soekarno sakit, D.N.Aidit telah menyusun suatu rencana melakukan tindakan kekerasan,sasarannya adalah para pemimpin angkatan darat dengan desas desus bahwa dikalangan angkatan darat telah dibentuk Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Soekarno, Pada tanggal 30 September malam, dibawah koando Syam, ketua biro khusus CC PKI,Kolonel untung dan pasukannya melakukan penculikan pembunuhan sejumlah Jenderal Angkatan Darat di Jakarta, peristiwa ini terkenal dengan G30S PKI.

Pada tanggal 1 Oktobrer 1965 diadakan pertemuan antara HMI, Pemuda Muhammadiyah, PII, dan PMRI .Dalam pertemuan ini disepakati untuk mengadakan kerja sama menghadapi kemungkinan perebutan kekuasaan yang terjadi akibat G30S PKI. Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk melakukan jihad melawan PKI. G30S PKI adalah suatu pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, terjadinya peristiwa G30S PKI merupakan titik klimaks dari pertentangan idiologi yang sangat tajam di zaman Demokrasi Terpimpin.,Tahun 1966, aksipemuda, mahasiswa dan pelajar bersama ABRI berhasil menurunkan Soekarno dan membubarkan PKI serta melarang seua ajaran komunis di Indonesia.[15]    


4.      Politik Islam Masa Orde Baru

Sejak terjadinya G30S PKI tahun 1965, kedudukan Soekarno semakin kritis yang mengakibatkan ia harus mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) untuk menugaskan Soeharto mengambil segala tindakan guna menyelamatkan negara, yakni membubarkan PKI dan menangkap semua mentri yang terlibat. Pada Bulan Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum ke IV yang menetapkan SUPERSEMAR sah di mata hukum dan mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Hal ini mengakibatkan konsensus nasional dimana semua kelompok partai mesti berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945.
Di Kalangan Umat Islam , kemenangan terhadap G30S PKI dianggap sebagai kesempatan untuk merehabilitasi Masyumi sehingga bisa memperjuangkan Islam melalui jalan politik. Akan tetapi Orde Baru menolak. Sebagai gantinya, tanggal 20 Februari 1968, Surat keputusan presiden No 70/68 mengesahkan partai Muslimin Indonesia ( Parmusi).
Kemudian muncul penyederhanaan partai yang di kelompokkan menjadi beberapa kelompok seperti :
-Kelompok Nasionalis (PNI, IPKI, Murba ) menjadi Partai Demokrasi Indonesia(PDI)
-Kelompok Spiritual (NU , PMI ( parmusi ) PSII ,Perti, Parkindo dan Khatolik di lebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) .Belakangan karena Parkindo dan Katolik berbeda agama maka mereka berafiliasi dengan nasionalis.
-Golongan Karya.

Pada masa orde baru, umat islam berhasil menggalang persatuan, sehingga pada pemilu tahun 1971 perolehan kursi partai mendapat 94 kursi. Dan pemilu tahun 1977 PPP meraih 99 kursi namun dikarenakan menghadapi pembagian kursi di DPR/MPR dan sikap politik yang berbeda sehingga menimbulkan ketegangan. Akibatnya, pada pemilu 1982 perolehan kursia PPP menurun dan pembagian kursi NU merasa dirugikan. Akibatnya, dalam mukhtamar ke-24 tahun 1984 NU keluar dari PPP dan kembali ke organisasi sosial. Sehingga pada pemilu tahun 1987 PPP mengalami ke merosotan yang luar biasa.

 Menjelang di berlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak yang cemas karena UU no 8/ 1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas tunggal yang berarti dilarang mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau identitas sendiri. Akibatnya, partai islam PPP harus benghapus asas islamnya dan menjadi partai nasionalis tanpa ciri islam. Sementara sikap NU sejak dini bisa menerima pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan dalam muhammadiyah lebih berhati-hati dalam menerima asas tunggal tersebut.

            Sesudah asas tunggal diterima oleh umat islam, umat islam mulai berjuang untuk mengatasi berbagai macam masalah, seperti:
(1)Monopoli pengelolaan perjalanan haji.
(2)Pelaksanaan hukum islam (RUU perkawinan).
(3)Masalah antara umat dengan pemerintah yang semakin berkembang, sehingga memunculkan MUI pada tahun 1975.
(4)Masalah ekonomi pemerintah membuat Bazis (badan amil zakat infaq shodaqoh) kemudian dibentuk juga koperasi-koperasi umat dan bank perkreditan rakyat, seperti NU mendirikan bank Nusuma dan Muhammadiyah mendirikan bank Matahari. Selanjutnya berdiri lah bank islam pertama tanpa bunga, yakni bank Muamalat Namun, Soeharto adalah seorang yang dikatakan melanjutkan politik Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa umat islam harus diberi fasilitas, sehingga umat tersebut berkembang dalam bidang sosial keagamaan saja tetapi dibidang politik tidak di beri kesempatan. Soeharto dalam pemerintahannya semakin jauh kearah kekerasan. Parai politik pemerintah, Golkar merekayasa pemilu tahun 1971 dan meraih 63 suara. Golkar menarik pendukung dari mantan komunis, PNI, masyumi dan NU sehingga menyebabkan Golkar semakin kokoh mendominasi kekuatan politik. Kemudian Soeharto dengan kkuatan ABRI nya merekayasa segala macam cara sehingga dapat berkuasa selama 32 tahun. Akibatnya KKN merajalela, hutang negara dalam jumlah besar, dan hancurnya etikan nasional. Sehingga negeri dan bangsa ini mengalami kebangkrutan dan kebobrokan moral.

Pada 19 mei 1998 tejadi unjuk rasa besar-besaran oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR/ MPR dan menginginkan agar Soeharto turun dari jabatannya. Akhirnya pada 21 mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dan digantikan oleh BJ Habibie yang menjadi wakil presiden pada masa itu .[16]

5.      Politik Islam Masa Reformasi

jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan munculnya pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal itu tercermin dari kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti pemilu 1999. Termasuk di dalamnya partai Islam. Keadaan ini juga mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya. Seperti kampanye pemilu 1999  ada  beberapa Ulama  NU  yang membela partai PKB.

Selain Ulama-Ulama NU , ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi muda Masyumi yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung dengan PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah,sedangkan PBB ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para mahasiswa dan halqah kampus turut mendirikan partai Islam , yaitu Partai Keadilan (belakangan PKS) yang menarik sebagian ulama yang merupakan alumnus Timur Tengah.

Belakangan, dua partai , PKB dan PAN menyatakan diri sebagai partai yang berasaskan Pancasila dan bersifat nasionalis, tetapi basisnya adalah massa Islam.

Kehadiran ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan  memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan partai lain[17].



BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
(1)Ilmu politik adalah ilmu yang mengkaji hubungan- hubungan manusia dengan negara dan manusia dengan manusia. Dalam Islam hal ini juga merupakan bidang agama karena ia mencakup semua segi kehidupan. Islam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik. Islam ingin melaksanakan politik selaras dengan tuntunan yang diberikan agama dan menggunakan negara sebagai pelayan Tuhan. Islam menggunakan kekuatan politik untuk mereformasi masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam tempat yang paling buruk.

(2) Pada awalnya perjuangan Umat Islam dalam bidang politik pada masa penjajahan adalah untuk menegakkan akidah , melawan kekafiran,dan melawan ketidakadilan para penjajah pada masa itu. Namun Seiring berjalannya waktu Umat Islam mulai menyadari bahwa perjuangan mereka tidak akan berhasil kalau melanjutkan cara-cara tradisional. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan perubahan yang walaupun  berasal dari pengaruh kolonial sendiri, yaitu berjuang melalui organisasi-organisasi , baik bidang sosial pendidikan ataupun di bidang pergerakan politik. Diantara organisasi pergerakan yang lahir dan memiliki peranan yang besar hingga saat ini adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan dan NU yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari.

(3)Kehadiran ulama dalam bidang politik seharusnya memiliki dampak positif, dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan dan membela partainya masing masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan  memperlemah kekuatan umat Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan partai lain.



DAFTAR PUSTAKA

Al Maududi, abu a’la, Sistem Politik Islam, Bandung : Mizan, 1993
J. Benda Harry,. Bulan Sabit dan matahari terbit, Islam di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Jakarta : Pustaka Jaya,1980.
Noer,Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,1982.
Noer,Deliar,  Partai – Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta : Grafiti Pers1987.
Soekarno, Negara Nasional dan Cita-cita Islam , Jakarta: Seridokumentar,2003.
Sunanto Musyrifah, Sejarah peradaban Islam Indonesia,  Jakarta : P.T. Raja Grafindo, 2005
Suryanegara, Ahmad Mansur , Menemukan Sejarah, Bandung : Mizan, 1995
Syafi’i, Ma’arif,  Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3S,1987.
Thaba,  Abdul azis, Islam dan Negara , Jakarta : Gema Insani Pers, 1996, 




[1] Abu A’la al Maududi, Sistem Politik Islam ( Bandung : Mizan, 1993) ,h. 32
[2] Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara ( Jakarta : Gema Insani Pers, 1996), h. 126
[3]  Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia ( Jakarta : P.T. Raja Grafindo, 2005 ), h.29
[4] Ahmad Mansur Suryanegara , Menemukan Sejarah ( Bandung : Mizan, 1995 ), h.240
[5]  Musyrifah Sunanto, op.cit., h.33
[6] http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/agama_islam/bab11-agama_islam_dan_politik.pdf
[7]Abdul Azis Tabha, Islam dan Negara, (Bandung:Gema Insani Perss,1996),hal.144-147
[8].Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,1982),hlm.126.
[9] Deliar, Noer  Partai – Partai Islam di Pentas Nasional. (Jakarta : Grafiti Pers1987) Hlm.77
[10] Harry, J. Benda. Bulan Sabit dan matahari terbit, Islam di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. (Jakarta : Pustaka Jaya,1980). Hlm 88
[11] Ma’rif Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S,1987), hal.108-109.
[12]  ibid..124
6 Soekarno,Bung Karno,Negara Nasional dan Cita-cita Islam (Jakarta: Seridokumentar,2003),hal 103
[14] Deliar Noer,Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta:PT.Pustaka Grafiti,1987),hal.354.
[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,),hal.67-75
[16] Musyrifah Sunanto, op.cit., hlm. 76-88
[17]Ibid,.hlm.89-91



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak kamu di sini ya..!
Silahkan isi dan komentari dengan sopan
Salam Blogger.

Pages